Sabtu, 12 Desember 2009

Tiga dalam Sebelas

Kontemplasi

Tiga dalam Sebelas

Saat ini aku mengenal diri pribadi tidak kurang dan tidak lebih sebagaimana masa lalu. Hidup seperti langkah beringsut, jauh kembali ke belakang. Merasa lagi di SMP dan SMA atau menjelang kuliah sampai berstatusa mahasiswa. Selalu saja tertatih sepanjang lajur berpikir empirik sembari melawan kerasnya kungkungan kenangan

Lama yang indah tetapi sangat pahit dikecap laksana mencekik leher dekik. Sangat sayang jika dibuang walau candu sebenarnya merugikan, kiranya sekelumit dapat diambil manfaat. Di antaranya daya tarik artistik, serupa perumpamaan kehalusan jiwa budi pekerti , polos jujur lagi suci. Beberapa malam, beberapa hari, minggu hingga bulan mata-hati senantiasa terbelalak tak pernah tidur, gelisah melulu. Betapakah hal ini rindu dendam ?

Kenangan-kenangan seketika menjelma, hidup kembali dan menggoda. Ingatan rawan terisyik. Suksma berpetualang ke masa silam. Tanpa sadar tembang-tembang Koes Plus terputar serta merta makin terkembanglah prosesi kisah dan peristiwa yang kualami.

Pada kala interaksi sosial berganti-ganti saat yang sama nurani bergesek dan bersentuhan, ada tambatan bangga sampai puja. Matahari kelihatan mengayomi pelangi remajaku; bumi menghantarkan kebebasan menunjuk nama; langit menyuguhkan hembusan kelincahan serta ketangkasan pikir dan sikap. Makin lengkaplah pesonaku. Setiap sadar ... aku menangis. Kusebut asma Allah sekalian bertanya, benarkah kumenemui penyesalan ? Kalau kukuburkan semua yang pernah terjadi, detik ini pun keterkaitan dengan kenyataan lama masih amat kuat. Betapapun hal itu menjadi penghalang arah, diriku mesti jujur tak mudah melupakan bahkan tidak mungkin lupa meski dilupa-lupakan. Situasi hayatku dekade ini pun serupa lahan subur bagi berkecambah memori yang suatu waktu tunas muncul kembali. Rasa kesepian nan panjang kiranya tak membuahkan perubahan cakrawala baru. Terdampar dan terbengkalai di ujung jalan lama. Jalan yang sesungguhnya mencatat momentum banyak kejadian yang perlu ditelaah khalayak ramai. Adakah yang sudi menaruh perhatian terhadap album kata-kata yang tercecer untuk dirangkai, disusun menjadi simponi cita-cita . Itulah harapan besar bagi berlangsungnya kehidupan hakiki insan pendamba kemajuan, progres. Sebuah cermin yang kupegang niscaya memerlukan cermin lain yang sangat lebar. Baru tiga—itu pun absolut dari Rosul, Ibu, dan ayahku—untuk dapat mengungkap sebelas. Serangkaian sepak terjang dan perjuangan terus-menerus kulakukan sampai rasa capai maupun litih badan tak terasakan, tak kuhiraukan. Aku serius kalau tidak, menjurus ketus mengambil pelajaran dari kisah “Jalur Hidup”, 1975-1977 mampukah diriku menghapus bias dan distorsi yang membeban, menggelayut disertai khabar dan berita yang semakin mempertajam ingatan bahkan penyesalan. Selalu ingat lagi, kelembutan kasih itu sukar sekali dihindari. Ada kelebihan goresan lain yang rata-rata memperburuk luka lama, melodi 1979 hingga 1981-an puisi-puisi pun berserakan di kaki Menoreh dan berlanjut munculnya bopeng raut hatiku. Kelabakan pula aku mencari kesembuhan yang tepat hingga 1982 – 1983 puteri Solo meletakkan “Candi” harapan dengan taman indah serta sejuk melebihi hamparan kesabaran. Ah, aku tak patut memimpin, namaku hanya Whelly sekedar indah diucapkan bibir-bibir limau selagi ulasan menyangkut idola diperebutkan. Aku belum mampu membawa nama pemberian orang tua ini ke puncak kemaslahatan nusa dan bangsa. Sukis Moro sebagai sambungan kearifan nurani bapak-ibu masih berupa simbul ketegaran yang di matanya berdaya menelantarkan hasrat wanita-wanita muda sejumlah sekolah sehingga Tuhan mencambuk ke-“Dungu”-anku tatkala kusadari betapa sakitnya perasaan hati yang sangat tulus kutikam dan kutinggalkan. Ya-Allah bangkitkanlah mereka yang telah kurebahkan dan rebahkanlah dosaku agar kuat membayar kekhilafan. Berikanlah kesempurnaan iman kepada kami yang berjuang mengisi kehidupan berkah dan Kauridhoi. Amin ! 10.02.1988. WSM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar