Minggu, 06 Desember 2009

Sendalu

Cerpen
Sendalu

Oleh: Whelly Sukis Moro KM


Debu bercampur pasir bagai ditebarkan ke segala arah. Terpaan hembus kencang disertai redupnya cahaya siang mengejutkan semua orang. Yawinata pun terpaksa menutup pintu beranda yang biasanya terbuka dua puluh empat jam. Belum sempat beranjak ke dalam teleponnya berdering , dengan bergegas ia menangkapnya.
“Bapak, saat ini juga berangkat ke Solo !” Suara Onengan, istrinya membuat manajer senior itu sedikit gugup, “Apa ? Hallo…! Ya-ya, …apa Della sakit, Ma ?”
“Tidak ! Putri kita sehat-sehat saja ! Ada soal penting berkenaan dengan tugas Bapak ! Segera, ya ? Ditunggu !” Cemara dan jajaran antena tv kelihatan bergoyang-goyang semakin keras. Deru udara yang bergerak pun merasuki fentilasi. Tiba-tiba pintu terketuk dari luar, Yawinata membukanya, “ Ada badai, ya ?!” Yang disapa gagap seraya memperlihatkan sikap hurmat, “Bukan, kok Pak ! Mungkin tanda-tanda puting beliung !” jawab Naomi sopan, selanjutnya “Bapak mempunyai agenda keluar ? Tampaknya sudah siap berangkat.” “Benar, ibu meminta aku harus terbang ke Jawa sekarang.” Naomi terkejut heran, jangan-jangan di sana … karena “Bapak, saya baru mendapat email-IGSS harus hari ini juga sampai disana ! Bagaimana, nih ?” Agak panik. “Sudah, kamu siap-siap dan berangkat sama-sama !” Pinta Yawinata kepada sekretaris asuhannya itu.

Beberapa menit kemudian Yawinata dan Naomi mendapatkan taksi menuju bandara. Ribut angin mulai reda. Penerbangan jurusan Solo mereka tumpangi hingga selamat di Adi sumarmo. Dari sini Naomi meluncur sendiri ke alamat PT IGSS di Palur sedangkan Yawinata menuju Cemara Jajar di mana istrinya menunggu. Merupakan warung gado-gado tempat Della, putrinya mondok.
Kemarin helat rundingan telah diadakan di rumah Hesti ini. Onengan dan Della sepakat menyambut Yawinata tanpa disertai oleh tuan rumah dahulu. Hesti pun mengiyakan. Kiranya rencana itu terlaksana dengan baik. Beberapa saat setelah Yawinata bercengkerama dengan istri dan putrinya tiba-tiba Hesti muncul dengan kedua tangan menjinjing nampan berisi segelas air teh dan sekaleng Khong Guan. Yawinata kaget bukan kepalang laksana diserang guntur. “Selamat berjumpa lagi Daniyarta !” Sambut Hesti dengan nada tinggi. Yang disapa gemetaran dibarengi perubahan muka merah padam dengan bibir komat-kamit. “Sudah puluhan tahun kita tak bersua rupanya banyak yang berubah, di antaranya nama pun diganti Yawinata.” Serbu Hesti dengan muka malap. Yawinata terdedah kelu sontak berkata kelenggam kerongkongan, “Iy-yyaa…ya, ini Hesti kan ?” Hesti keheranan, masih menggeleng-geleng ia mengambil duduk agak di sudut, “Jika kaubukan tamuku niscaya sudah kubilang pikun… kali ini buktinya, sudah faham masih bisa berulah pura-pura !” Yawi bertambah gugup, “Maafkan diriku, Hesti !” Peluhnya melembabi jidatnya yang membidang itu. Onengan dan Della mengerit ambil jarak seolah-olah tak mau mengganggu jalannya percakapan itu. Namun menyaksikan kondisi mulai dikuasai emosi, Onengan nekat menyelang, “Bapak mesti mengakui kenyataan ini; bukankah bu Hesti istri pertama Bapak ?!” Yawinata terperangah. Di tengah mau membuka mulut, Onengan meneruskan diikuti mata yang berkaca-kaca, “Aku juga wanita ! Bayangkan selama tiga windu Bapak ingkar dan menelantarkan mereka begitu saja, tega sekali !” Terisak-isak tak kuat menyangga sentimennya selantas ia direngkuh Della. Yawinata tak bergeming hanya kepalan tangannya yang menyangga kening sendiri.




Sepanjang hayat baru kali ini Della mendapati ayah kandungnya bak macan ompong yang lunglai, selirih pun tak mampu mengaum. Terpancinglah Della angkat bicara, “Ayah…!” Tatapan Yawinata nanar. “Ayah harus tegas, harus tegar… tunjukkan jiwa besar ayah seperti yang selalu ayah ajarkan kepada Della !” desaknya. Barangkali sekedar membentangkan perisai diri, Yawinata menyulam bahasa pemanis lidah, “Memang bapak sudah melakukan kesalahan fatal.
Sejarah hitam tertoreh panjang mengisi halaman hidup masa lalu. Adakah cara terbaik menuju rehabilitasi pribadi ?” mengeluh hiba selanjutnya merunduk seolah-olah ingin menuangkan seisi


sanubari kepada Hesti, “Hesti ! Tolong aku Daniyarta ganjarlah menurut kehendakmu atau paling tidak utarakanlah permintaan yang mana dapat membayar tunai kejahatan dan dosaku !” Hesti sedu sedan melulu. Onengan dan Della menghambur dan memeluk dari sisi kanan dan kiri. Della berkata, “Mengapa ayah tetap plin-plan juga. Kisahkan dan akuilah terus terang dan tulus!”
Yawinata menegap memandang putrinya, “Sebaiknya kamu belajar budi perkerti, Dell !” pintanya. Della menepis, “ Yah, Della pun anak wanita. Bagaimana kalau nasib bu Hesti juga menimpaku kelak ? Dalam keadaan hamil diingkari, setelah anak lahir pun dipedulikan. Sangsai berlangsung terus, terus tanpa ditanyakan keadaannya hingga sekarang ini. Ayah, adalah figur sentral bagi anak-anak untuk mengadu dan berbangga. Berilah kami kesempatan tumbuh sihat dan dewasa !” Sekujur tubuh Yawinata seakan dikelayapi bara panas mendengar pernyataan sang anak sampai putih bola matanya berubah merah. Gerung tangis Hesti bertaut ratapan Onengan. “Hiyya, adakah anakku telah lahir dan sekarang di mana, Hesti ?” Semua sinis. Tutup mulut.


Sementara itu di kantor PT IGSS, Naomi sudah berhadapan dan berbincang dengan Laksmi, atasan yang berwenang mendelegasikan pegawai. Dalam pikirannya Laksmi adalah wanita profesional yang sukses. Meskipun identik dengan sosok perawan tua, julukan itu tidak mengurangi rasa salut orang lain terhadap keteguhannya dalam memegang prinsip, tegas dan berwibawa. Dalam wacana batin Naomi, ia menjadi tumpuan mendapatkan jawaban yang jitu dari setiap pertanyaan yang timbul; walau kali ini pertanyaan itu meluncur dari beliau sendiri, “Benar, Bu ! Saya hanya ingin mencurahkan skill dan sedikit pengetahuan saya untuk mencapai kinerja optimal.” Jelas Naomi.
“Bagus !” tabik Laksmi sembari menyajikan dua mug-pocari dari rak dinding persis di belakang duduknya. “Ibu acungi jempol atas sikapmu ! Tindakanmu mencerminkan dedikasi yang tinggi.”
Naomi ragu mendapat penilaian tersebut, tanpa disadari mug yang nyaris diangkatnya seketika diletakkan kembali, “Maksud Ibu ?” helanya, “Keputusan saya untuk langsung menghadap Ibu semata-mata demi tugas, lain tidak !” Dalih Naomi langsung disambut Laksmi sembari mempersilakan minum, “Umumnya orang lebih menuruti perasaan pribadinya, sedang kamu tidak. Begitu tiba dari Palembang lurus menuju kantor bukan mengikuti Yawinata pulang ke rumah dahulu !” Diam. Laksmi meneruskan seraya menyorong kursinya ke belakang, “Diakah yang menyarankanmu segera menemui aku ? Padahal tujuan dia hanya untuk menjumpai istri dan putrinya di rumah ibumu, ibu Hesti !” Naomi kontemplasi dari mana Laksmi mengetahui maksud Yawinata. Tak habis pikir dia pun menjawab, “Tidak !” sontak tercenung.



Tiba-tiba seorang pegawai masuk memohon tanda tangan, Laksmi berpesan, “Barang untuk PT Surya sudah dikirim ?” Orang itu membungkukkan badan ala orang Jepang. “Tolong semua dokumen yang perlu disposisi disiapkan sekalian; hari ini aku ada tugas luar dan persoalan lain-lain ditekel mbak Indah Dian, begitu ya ?!” Sesudah menyatakan siap ia pun mohon diri. Laksmi melanjutkan bicara, “Berarti hal itu kauputuskan sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan ….” Kejar Laksmi serenta diretas Naomi, “Saya tahu pak Yawinata datang ke rumah tetapi itu kan urusan keluarga beliau sedangkan saya harus kemari untuk tugas, perlu dikedepankan.” Laksmi memotong,”Nah, ini yang ibu maksud ! Langkahmu merupakan jawaban paling benar sehingga kamu dinyatakan lulus !” Tangannya dijulurkan ke arah Naomi dan bersambut menjadi jabat tangan disertai senyum riang. Saat kedua wanita eksekutif ini bersulang, muncul seorang pesuruh katering menyajikan Bakpao, Miku dan Resoles di atas sebuah piring lebar; keduanya terus menikmati penganan itu. Sejenak kemudian Laksmi mencomot tisue meja sambil berkata hati-hati, “Saudari Naomi ?!” “Ya !” Dengan seksama Laksmi menuturkan, “Satu pertanyaan lagi tolong jawab dengan tulus !” Naomi sigap.Mata belalak menyiaga telinga, “Bagaimana, Bu ?” tak sabar. “Ini serius. Pernahkan ibumu menyinggung perihal ayahmu ?” Pandangan Naomi mengabur. Setelah mengusap-usap pelupuknya lantas menjawab, “Belum, belum pernah !” menggeleng tunduk. Laksmi memperhatikan fiilnya dengan khidmat, Naomi merasa kikuk lalu membilang “Sejak saya TK ibunda mengatakan saya anak yatim !” Mendengar hal ini Laksmi masyuk, kelihatan matanya menyembab. Naomi mengetahui perubahan mimik itu sontak menghela, “Ibu kurang berkenan dengan kata-kata saya ?” Dengan membuka kaca mata serta menyeka dengan sapu tangan, Laksmi menyanggah, “Tidak, tidak…ibu hanya empati manakala disebutkan kata yatim. Silakan lanjutkan !” Optik itu pun dikenakannya kembali. Naomi menyambung, “Begitu saya menginjak remaja acapkali timbul pikiran ingin ziarah ke makam ayah. Namun ibu pun belum tahu di mana pusaranya. Konon sejak kepergian ayah ke sebrang sekali pun belum pernah pulang, kabarnya sebelum saya lahir ayah sudah dipanggil Tuhan.” Dengan sesak dada Laksmi menyelami kata demi kata yang diucapkan Naomi sehingga hanyut ke dalam lela dan air mata. Kelihatannya Laksmi hendak meloncat mendekap Naomi erat-erat tetapi ia tetap menahan perasaan. “Saya teruskan, ya Bu ?!” Laksmi membuka telapak tangan kanannya ke depan. “Maaf kalau dalam akte kelahiran itu tersurat status saya sebagai ‘anak-ibu’ karena mungkin surat nikah waktu itu belum jadi atau mungkin baru nikah siri, saya kurang mengerti !” jelas Naomi polos.



Laksmi diam memandang tubuh Naomi, sesekali mengangguk sendiri. “Sebenarnya apa yang terjadi, Bu ?” penasaran. Beberapa saat menanti jawab, Naomi sempat berjudi melawan purbasangka terkait arah interview ini, masalah karier, keluarga, jodoh, atau rahasia lain yang semuanya serupa anekdot timbul-tenggelam dalam angan. Setengah sadar ia mendesah, “Ah…!” Laksmi tergelitik dan menyambut, ” Mengapa Naomi ? Melamun, ya ?!” Ia tersipu terlebih lagi mendengar saran Laksmi, “Jangan suka begitu, masih muda !” Naomi kelicutan sambil membuang muka.
“Tenang Naomi, jangan berpraduga buruk sebab hal ini urusan dinas semata.” Menyambung lagi, “Pembicaraan kita di depan ibu pikir lebih afdol dirampungkan di hadapan Yawinata. Di samping timingnya tepat tokh dia yang selalu meminta tenaga-tenaga professional kita. Kau siap ke sana ?” “Siap, Bu !” Seraya berjangkit meraih slipnya Laksmi berkata, “Okey, sekalian menemui ibumu !” Dengan mengendarai “Jass” kedua wanita berbeda generasi itu menukik ke Cemara Jajar. Kendaraan merah itu diparkir di benderung antara rumah tetangga yang teduh.


Surya condong ke barat melahirkan santir langkah kaki. Maju hati-hati seperti menyiasat muncul di saat yang tepat. Hati kecil Naomi berbisik, ternyata Laksmi telah hafal dengan situasi sampai ia yang memandu dan Naomi mengikuti. Melewati pintu samping masuk ke kacapuri. Dari sini Naomi semakin yakin kalau Laksmi sudah terbiasa mengunjungi ibunya. Kemudian mereka menginding peristiwa yang sedang terjadi di ruang depan. Laksmi membibih ke telinga Naomi, “Lihat, Yawinata teringa-inga diungkit perbuatannya oleh ibumu, Hesti !” Naomi mengantuk-antuk haru mendengar suara Yawinata terkapah menanyakan dimana anaknya sekarang.
Seketika itu Laksmi menggandeng Naomi keluar seraya menegas, “Ini anakmu, Daniyarta !” Sontak derai tangis bergema menghirun hati. Sekotah rumah tercengang dan Naomi lepas menghalakan badan ke arah Hesti yang terus rembah-rembih. Della dan Onengan saling ratap beringsut ke belakang Hesti. “Ibu !” pekiknya sambil mengampu sang ibu duduk sedang dia sendiri langsung berdeku.

Yawinata tak kuasa lagi berkeletah bahkan sikapnya berubah kedi berwajah iram. Pelan-pelan Laksmi menyeret kedera duduk mendampingi keempat wanita itu, berjarak sekitar sedepa dari kenap Yawinata alias Daniyarta. Dalam kelu mereka memandangi wajah yang semakin karut itu, bilamana melakukan ikrar pengakuan. Menanti terasa sangat lamban malah mencekam berlelehan air mata bagaikan murka Merapi menyembur wedus gembel. Bergaunglah suara berat terbata, “Aku faham, kalian adalah lima srikandi yang akan mengadili Daniyarta,kan ?” Laksmi spontan berdiri, “Seorang Daniyarta ialah mahajana cinta, sudah bangka pun masih lengkanas melempar kurbannya terkulai lengar-lengar !” Sanggahnya kemudian ditepis, “Laksmi !” dagu Daniyarta mencugat. “Tak usah cas-cus. Sama-sama sudah rimpuh jangankan dikeroyok lima, satu-satu mungkin imbang !” Tantangnya. Kuping Onengan memerah sehingga menyelang, “Kalau pikiran bapak demikian silakan kumpulkan pembela sejumlah lelaki ! Aku yakin di seluruh kota ini tak satu pun yang sudi !?” Yawinata mendadak bungkam. Sapuan kerlingnya menangkap bukti bahwa di antara mereka sudah setali dua uang.

Sentara Laksmi merabai pundak Hesti dalam pelukan Naomi, terdengar letupan bibir Yawinata kembali. “Ya-Tuhan, ampunilah diri dan keluargaku !” Sengap. Menghiba dengan muka diraut sepuluh jemari tangannya. Laksmi tiba-tiba menengah, “Benar sesungguhnya kita semua telah berdosa. Diriku pun banyak khilaf.” Belum berlanjut, Onengan terbayang kisah hitam suaminya telah menelantarkan Hesti dengan keji, “Sesakit-sakitnya luka hatiku saat ini jauh lebih sakit penderitaan Laksmi !” ungkapnya sembari minta maaf kepada Laksmi lantaran dulu telah menyewat Daniyarta dari genggamannya. Langsung ditanggapi Laksmi, “Sekecewa-kecewanya hidupku pasti lebih kecewa Hesti !” Sambungnya, “Sepantun dengan Onengan, dengan ini aku minta maaf kepada seseorang yang pernah kukecewakan sepanjang hidupnya.” Menunduk dan merambas seraya mengeluarkan kliping cerpen berjudul Sendalu karangan Andramas Kaem, “Ini beti di antara karya orang itu, coba dibuka !” Della meraih dan membaca seperti terkagum-kagum. “Kami lebih dulu berkasih sebelum Daniyarta merenggut hatiku. Kasihan hingga kini senyur itu membujang karena kecewa dan frustrasi, meski tak berkontak aku tahu dari media, kehidupannya semata prawangsa dan dengan diam-diam aku terdorong mengoleksi sejumlah naskahnya.”

Menyelami pernyataan tadi mereka seolah-olah menyadari bahwa hidup semacam ping-pong satu sama lain saling berselungkang bola nasib. Berkait dengan sikap Yawinata yang santai mereka jadi kesal sampai menuangkan protes dalam pernyataan bersama, “Sekejam-kejamnya perbuatan Daniyarta terhadap wanita, paling jahat tindakannya kepada Hesti !” dan “Seumur-umur Naomi telah dicampakkan hak-haknya oleh ayah sendiri !” serta “Anak ini berhak menuntut dan mengadili Daniyarta alias Yawinata menurut kemauannya !”
Dengan lantang Della Youne turun bicara menekan ayahnya untuk mengakui kecerobohannya dan insyaf, “Ayah, tunjukkan di hadapan Della ‘Jiwa Besar’ yang ayah ajarkan kepada Della guna mengatasi ketidakbecusan ayah sekarang ini !” Membisu. Tidak terdapat reaksi di mimiknya. Justru Naomi yang semula dingin tahu-tahu mengangkat ikrar, “Kalau benar dia ayah saya, niscaya saya akan menerimanya dengan satu tuntutan, akuilah ibuku selaku istri yang
pantas ! Jika sudah demikian tinggal Naomi patuh dan berbakti terhadap perintah-nasihatnya, cukup ! Karena sesungguhnya setiap perbuatan dosa mesti dihadapkan pada pengadilan mahkamah nanti !”

Pernyataan santun Naomi mencerminkan kemuliaan hatinya, hal ini mengundang kagum sidang pancakirana tersebut. Yawinata tak kuasa bergeming laksana awan hitam meggelantung di kedua alisnya. Mendung yang melayang menggambarkan kancah pertumbuhan pekerti anak. Sesama anak kandung, Della berani melucuti aib sang ayah sedangkan Naomi bak anak yang terlepas dari asah didiknya bahkan lebih cerdas, hurmat serta pandai menempatkan diri. Yawinata mengakui gagal mendidik anak sedangkan Hesti jauh lebih unggul dalam hal membina pekerti generasi.
Kenyataan itu menjadi pemantik lahirnya keinsyafan Yawinata, “Aku mengaku tak pantas mengemban amanat pimpinan; dengan ini kulimpahkan tampuk PT IGSP kepada ibu Laksmi !” Reaksi Laksmi, “Enak saja menyebut ibu…, tua-tua begini aku masih gadis, lho !” Menampik. “Maaf ya bu Onengan, bu Hesti…, untuk sekali ini saja aku menentang kehendak pak Yawinata !” Yawinata murung menyadari sikap dan pernyataannya tidak memberikan faedah bagi mempertahankan harga dirinya lagi. Spontan ia menyapa Della Youne supaya mendekat, “Bagaimana pendapatmu, Della ?” Menggeleng tak acuh, “Ibu saja yang pantas menjawab !” Seketika Onengan melirik ramah pada Hesti, “Aku pun tak layak menentukan way-out persoalan ini !”
Tiba-tiba Laksmi kembali berdiri dengan pandangan lepas sembari melangkah mondar-mandir, “Ada seorang anak manusia selama tiga windu distatuskan yatim oleh keadaan, selama itu pula dirinya berkutat dalam kesengsaraan. Karakter kejiwaannya cenderung khusus dalam notasi positif. Hari ini menghadapi perubahan besar dan frontal terkait keyatimannya begitu ditemukan sang ayah…, masihkah ayah itu tega menzalimi kembali dengan membiarkan hak dan kepentingan hidupnya mengembara di belantara tanpa pemandu…, kok semakin biadab rasanya
kita !” Semua diam bersungut-sungut. Laksmi menambahkan, “Mengapa sang ayah dengan
remeh mengaku alpa tetapi terbukti sama sekali tak pernah menyesali perbuatannya, justru cenderung mengulang-ulang sehingga raiblah makna seorang Naomi !?” gusarnya. Berikut ia kisahkan bahwa Naomi merupakan gadis pemberani dan menyandang talenta tinggi. Hal itu dibuktikan ketika rombongan presiden berjalan hendak meresmikan IGSS. Kala itu ia berlari menyusup dalam rombongan sampai persis di belakang presiden sambil berteriak, “Bapak presiden, saya anak sengsara, saya anak Indonesia kasihani saya, beri saya pekerjaan !” Tak pelak pengawal langsung mengamankan Naomi tetapi Presiden tergerak menghentikan langkahnya seraya meraih tangan gadis itu sebagai wujud empati beliau, “Dengarkan, Ia !” begitu pesan presiden pada ajudan seraya meneruskan langkahnya. Tanggapan jabat tangan presiden tadi sudah memuaskan hati Naomi sampai-sampai permintaan yang masih menggayut di hatinya lupa begitu saja. Ia sudah senang walaupun terpaksa “diamankan” pihak berwajib. Atas bisikan nurani yang dalam, Laksmi mengurusnya seperti melayani pegawai resmi padahal posisi Naomi tidak lebih dari seorang pelamar kerja yang belum selesai menjalani tes. Sidang Pancakirana seperti hanyut dalam dramatikal yang dituturkan Laksmi. Tergamang-gamang menatap Naomi.

“Naomi !” Sapa Laksmi lugas. “Ya, bu !?” Lembut. “Mulai Senin besuk kamu mengganti kedudukanku memimpin staf, bersedia toh ?!” Naomi terpana, masam rautnya menandakan keraguan merundung. “Aku memutuskan mengundurkan diri untuk mengisi sisa usia ini menuju jalan yang lebih luhur bersama ibundamu. Sedikit tabungan yang terkumpul sudah diperoleh dua tiket umroh tahun ini juga !” lanjut Laksmi.
“Adik Laksmi ?!” tegur Hesti dengan wajah terharu. Dalam batin Hesti merasa kasihan terhadap pengorbanan Laksmi yang begitu besar sampai dia terus melajang hidup sebatang kara. Terlebih mendengar seruannya, “Benar bu Hesti, semua sudah disiapkan !” Tiba-tiba Della menyela, “ Ayah dan ibu, sekalian berangkat pula dong !?” Onengan menyarat , “Aku menunggu sikap Bapak dalam mengarifi pokok persoalan ini !” Yawinata tegap berdiri kemudian mendapati mereka; memeluk Naomi, menyalam Hesti dan Laksmi sembari berucap, “Tolong masukkan aku dalam bui pertaubatan !” (WSM 05.08)

1 komentar:

  1. How to make money from online casinos in your spare time
    online casino games in which you can win real money in the long run. Online gambling sites หาเงินออนไลน์ that take advantage of What are the best casino sites to make money in the long run?What is the best online casino for gambling?

    BalasHapus