-->
Jumat, 18 Desember 2009
Paradigma Pribadiku
-->
Sabtu, 12 Desember 2009
Klenger dan Lher !
Yang Gui, namanya. Remaja pria kelas dua di SMU Unggulan. Ia anak seorang konglomerat di kota budaya ini. Penampilannya disegani kawan-kawan seligting karena mempunyai fasilitas dan keutamaan lebih. Anak manja ini sedang involved-puber. Terpikat sampai tergila-gila dengan si mahasiswi cantik seprofil Sandra Dewi. Namanya Mey-Mey. Cewek fakultas hukum yang menjadi sasaran mata-julik kaum lelaki, kalau berangkat dan pulang kuliah memang lewat di depan rumah Yang Gui. Setiap hari pandangan diarahkan, membuat dirinya mati kutu tersayat-sayat asmara serta rasa rindu. Wah !
“Aku tetap penasaran sebelum mampu menjitak primadona itu!” Tuturnya pada kawan-kawan sepergaulan. Maka dikerahkanlah segala potensi materi dan privillese yang disandang ayahnya guna memburu Mey-Mey. Dikeluarkanlah Swift sampai Baby-Bens putih untuk menghimpun Pengikut yang setia membantu perburuannya. Yang terpenting segera mengenal identitas untuk menyampaikan hasrat hati. Satu kiat yang dia janjikan ketika berembuk dengan kolega, “Apapun imbalannya, Mey-Mey mesti jatuh di tanganku !” Betapa sakit dan menderita jika perasaan hati selagi berhasrat besar senantiasa meletup-letup seperti akan meledak menyusuri peraduannya. Oh, Cinta !
Sayang seribu kali sayang. Malang nasib tak dapat ditolak. Bencana telah melanda jejaka glamour ini. Surat pertama yang diidamkan sebagai jembatan pertemuan kasih, ternyata terbalas hanya dengan sebait puisi pamungkas; “ Kauboleh mencintaiku, seperti ratusan laki-laki lain mengharapkan cintaku, itu hakmu. Namun kau pun harus menghormati hak azasiku untuk menolak cintamu. Maaf, di antara kita tidak ada sedikit pun persamaan. Aku milik diriku sendiri, mengerti ?!” Pernyataan Mey-Mey vulgar.
Yang Gui lemas. Terkulai. Merengek pun tak kuasa. Hilang daya; hilang pula kekuasaan yang diandalkan dari julukan anak mas konglomerat. Segala fasilitas dan prioritas dunia nyata seakan tak berguna; tak dapat menolong penderitaan batin yang hampir hancur mumur itu. Ia jatuh sakit. Selama dikirim buah jeruk sang mama, selama itu pula ia mendiami Sentral-Berhad Hospital di Singapore. Ia tak mampu mengatakan gejala yang sebenarnya di depan psikiater. Semata keguncangan Jiewha tengah melanda anak kesayangan ini. Ia ingin mengadu...malu. Pada siapa ? Klenger.
Mey-Mey mendapat berita tragik ini tatkala turut rombongan melancong di Sarangan. Di depan kekasihnya ia mengutarakan seluruh pengalaman sepanjang petualangan hidup. Mey-Mey jujur dan polos demi kesucian cinta kepada orang yang telah banyak menuntun pengembangan kepribadiannya. Jantung hati itu menyela, “You’re to be able to bring to tread him ?!” Kau telah tega memperlakukan dia begitu?
Spontan gadis cerdas itu menukas, “Wis ben, Kapok !” Rupanya ia tidak sependapat dengan rumpun sosial sekelasnya sebagaimana Yang Gui yang suka melakukan afiliasi kehidupan lepas, menjauh dari komunitas rendah serupa papa. Dengan kemolekan, kesupelan dan talenta pribadinya, ia berjanji memelopori beleid pembauran. Namun di lintas misi suci itu bertambah banyak laki-laki yang kepincut, tergila-gila padanya. Hebat. Mey-Mey sungguh lehay memanfaatkan skillnya: Lher !.
{Whelly Sukis Moro KM, 02.04.08}
Tiga dalam Sebelas
Kontemplasi
Tiga dalam Sebelas
Saat ini aku mengenal diri pribadi tidak kurang dan tidak lebih sebagaimana masa lalu. Hidup seperti langkah beringsut, jauh kembali ke belakang. Merasa lagi di SMP dan SMA atau menjelang kuliah sampai berstatusa mahasiswa. Selalu saja tertatih sepanjang lajur berpikir empirik sembari melawan kerasnya kungkungan kenangan
Lama yang indah tetapi sangat pahit dikecap laksana mencekik leher dekik. Sangat sayang jika dibuang walau candu sebenarnya merugikan, kiranya sekelumit dapat diambil manfaat. Di antaranya daya tarik artistik, serupa perumpamaan kehalusan jiwa budi pekerti , polos jujur lagi suci. Beberapa malam, beberapa hari, minggu hingga bulan mata-hati senantiasa terbelalak tak pernah tidur, gelisah melulu. Betapakah hal ini rindu dendam ?
Kenangan-kenangan seketika menjelma, hidup kembali dan menggoda. Ingatan rawan terisyik. Suksma berpetualang ke masa silam. Tanpa sadar tembang-tembang Koes Plus terputar serta merta makin terkembanglah prosesi kisah dan peristiwa yang kualami.
Pada kala interaksi sosial berganti-ganti saat yang sama nurani bergesek dan bersentuhan, ada tambatan bangga sampai puja. Matahari kelihatan mengayomi pelangi remajaku; bumi menghantarkan kebebasan menunjuk nama; langit menyuguhkan hembusan kelincahan serta ketangkasan pikir dan sikap. Makin lengkaplah pesonaku. Setiap sadar ... aku menangis. Kusebut asma Allah sekalian bertanya, benarkah kumenemui penyesalan ? Kalau kukuburkan semua yang pernah terjadi, detik ini pun keterkaitan dengan kenyataan lama masih amat kuat. Betapapun hal itu menjadi penghalang arah, diriku mesti jujur tak mudah melupakan bahkan tidak mungkin lupa meski dilupa-lupakan. Situasi hayatku dekade ini pun serupa lahan subur bagi berkecambah memori yang suatu waktu tunas muncul kembali. Rasa kesepian nan panjang kiranya tak membuahkan perubahan cakrawala baru. Terdampar dan terbengkalai di ujung jalan lama. Jalan yang sesungguhnya mencatat momentum banyak kejadian yang perlu ditelaah khalayak ramai. Adakah yang sudi menaruh perhatian terhadap album kata-kata yang tercecer untuk dirangkai, disusun menjadi simponi cita-cita . Itulah harapan besar bagi berlangsungnya kehidupan hakiki insan pendamba kemajuan, progres. Sebuah cermin yang kupegang niscaya memerlukan cermin lain yang sangat lebar. Baru tiga—itu pun absolut dari Rosul, Ibu, dan ayahku—untuk dapat mengungkap sebelas. Serangkaian sepak terjang dan perjuangan terus-menerus kulakukan sampai rasa capai maupun litih badan tak terasakan, tak kuhiraukan. Aku serius kalau tidak, menjurus ketus mengambil pelajaran dari kisah “Jalur Hidup”, 1975-1977 mampukah diriku menghapus bias dan distorsi yang membeban, menggelayut disertai khabar dan berita yang semakin mempertajam ingatan bahkan penyesalan. Selalu ingat lagi, kelembutan kasih itu sukar sekali dihindari. Ada kelebihan goresan lain yang rata-rata memperburuk luka lama, melodi 1979 hingga 1981-an puisi-puisi pun berserakan di kaki Menoreh dan berlanjut munculnya bopeng raut hatiku. Kelabakan pula aku mencari kesembuhan yang tepat hingga 1982 – 1983 puteri Solo meletakkan “Candi” harapan dengan taman indah serta sejuk melebihi hamparan kesabaran. Ah, aku tak patut memimpin, namaku hanya Whelly sekedar indah diucapkan bibir-bibir limau selagi ulasan menyangkut idola diperebutkan. Aku belum mampu membawa nama pemberian orang tua ini ke puncak kemaslahatan nusa dan bangsa. Sukis Moro sebagai sambungan kearifan nurani bapak-ibu masih berupa simbul ketegaran yang di matanya berdaya menelantarkan hasrat wanita-wanita muda sejumlah sekolah sehingga Tuhan mencambuk ke-“Dungu”-anku tatkala kusadari betapa sakitnya perasaan hati yang sangat tulus kutikam dan kutinggalkan. Ya-Allah bangkitkanlah mereka yang telah kurebahkan dan rebahkanlah dosaku agar kuat membayar kekhilafan. Berikanlah kesempurnaan iman kepada kami yang berjuang mengisi kehidupan berkah dan Kauridhoi. Amin ! 10.02.1988. WSM
Kamis, 10 Desember 2009
TEORI DASAR BERPIDATO
Merupakan bagian dari genus retorika dan protokoler
Pengertian retorika dan protokoler
Tujuan dan maksud pidato
Dasar-dasar pidato
Syarat-syarat pidato
Metode pidato
Sistematik pemaparan materi pidato
Jenis-jenis pidato
Lingkungan, suasana, tempat, waktu dan tujuan harus dijadikan pangkal tolak—starting point penyajian dan sifat-sifat pidato
Pidato baru pantas dilakukan bilamana terdapat pemahaman dan penghayatan terhadap realitas sosial yang ada
Bak mengail kita lebih dulu mengulurkan umpan sehingga ikan sudi mendekat menikmati dengan lahap
Kita pun harus cergas tuntas mengenalkan diri sebagai pemantik kita punya tugas nan cerdik
Sebutkan nama, tempat dan tarikh kelahiran, alamat asal-alamat sekarang, latar belakang keluarga, jumlah keluarga, pekerjaan orang tua
Organisasi yang diikuti, latar belakang pendidikan merangkum pengalaman berorganisasi, kegiatan intra dan ekstra, kepengurusan yang pernah dijabat, motifasi berorganisasi, trainning yang pernah diikuti, termasuk pengalaman khusus berkenaan dengan hoby serta pantangan dalam hal makanan maupun pergaulan
Misi pidato ada dua aliran
Aliran yang berdasarkan pengetahuan biasa (Knowledge) dan aliran berdasar manthiq atau science
Man as the animal that reasons—al insanu hayawannun nathiq
Manusia adalah hewan yang berpikir benar
Agar masyarakat audiens concerned—menaruh minat yang kuat mendengarkan pidato maka berikanlah pengalaman-pengalaman berharga yang sangat dibutuhkan masyarakat secara faktual
Hadis sahih Muslim sebagai contoh, “ Apabila seseorang pergi dalam perjalanan menuntut ilmu, Allah akan memudahkan bagi dia jalan ke surga.”
Leopold Weiss 1934 dalam islamnya bernama Muhammad Asad menuturkan bahwa kita harus mempunyai kemauan untuk belajar dan untuk maju menjadi efisien seperti bangsa Barat di bidang ekonomi dan ilmu pengetahuan. Tapi yang tak boleh dikehendaki oleh kaum muslimin ialah melihat dengan mata- barat, berpikir dengan pikiran barat
MENINGKATKAN KEDISIPLINAN REMAJA
Hadirin yang berbahagia,
Ungkapan syukur dan suka cita saya lafazkan dalam perhelatan kita kali ini. Semoga Rahmad dan Karunia Tuhan, tercurah senantiasa; menjaring manfaat dari pidato yang serta merta....untuk kepentingan remaja. Untuk kebutuhan generasi muda.
Hadirin yang dihurmati,
Mengapa keadaan perikehidupan kita pada dekade terakhir ini makin tertinggal, makin terpuruk .... ironisnya berlangsung di tengah-tengah kepesatan kemajuan bangsa-bangsa lain di dunia ini; mengapa ....
Dalam integritas politik, kita merasakan dengan hati prihatin;
Dalam dunia usaha kita melihat semakin compang-camping; Dalam aspek prestasi kebangsaan kita saksikan dekadensi yamg cukup memilukan, prestasi olah raga,reputasi pendidikan, hingga dimensi moralitas merosot....merosot....downback on crisism yang ujung-ujungnya kriminalitas melonjak; predikat bar-bar dan niradab mulai lekat di depan kita; Sekali lagi, kita semua sepakat untuk bergumam : “Prihatin !” Karena ternyata dengan situasi demikian semua cita-cita anak bangsa tiba-tiba drops, bahkan stagnan-mandeg. Generasi muda tertatih-tatih telantar urung sampai tujuan.
Hadirin,
Beberapa ahli behavioral, Peneliti Perilaku-kepribadian mensyaratkan tiga komponen pokok untuk tujuan atau yang lazim disebut Cita-cita. Satu; adanya perencanaan yang matang; dua Adanya semangat yang didorong oleh motivasi guna menggerakkan seluruh bagian instrumennya; dan yang Ketiga Adanya disiplin atau dinamakan hukum dasar moral yang secara sadar mengontrol perilaku, mengendalikan perilaku sehingga efektif dan simultan dalam melaksanakan aspek-aspek kegiatan.
Sesuai dengan judul pembicaraan di depan, fokus membahas aspek disiplin. Ya Disiplin ! Ia merupakan sistem sikap mental yang tersusun dari pengetahuan , tersusun dari pemahaman terhadap manfaat nilai dari segala sesuatu dan tercermin secara langsung dalam bentuk perilaku, sikap, serta perbuatan pribadi seseorang.
Hadirin yang Budiman,
Hubungan aksiomatis acapkali berkait-mengait dengan hukum perilaku. Tampaklah oleh kita, pada kurva hubungan lenear positif tertera persaksian nyata bahwa, Semakin Disiplin Kepribadian Seseorang di dalam Masalah Belajar, Semakin Tinggi Pula Rating Hasil Nilai dan Prestasinya. Semakin disiplin dalam memelihara lingkungan beserta ekosistemnya, semakin aman pula kita dari ancaman bencana alam seperti banjir, longsor, global-warming,dan kemarahan alam lainnya.
Sekarang, Saya putuskan sekarang juga ! Dari seluk-beluk kegiatan sehari-hari kita mencoba untuk merinci dan menyebutkan ke dalam daftar tulisan. Semua aktifitas kita inventarisir. Selanjutnya kita rencanakan susunan urut berdasarkan pertimbangan faktor pentingnya yakni skala prioritas. Diskripsi tersebut jadikan panduan langkah kegiatan yang harus dikerjakan dengan konsisten, penuh sadar, dan concern terhadap disiplin....tidak bisa tidak, disiplin jadikan jiwa founding-acts. Dengan kata lain disiplin adalah filosofi, kandetaning mami, watak kita. Kemudian, bagaimana gerangan hasilnya....?! Niscaya posible, baik dan lebih baik. Artinya grafik pragmatis terbukti meningkat !
Hadirin yang berbahagia,
Dunia remaja seringkali dikatakan dunia pancaroba. Diungkapkan demikian karena yang terjadi adalah proses transformasi multiaspek di dalam sistem kepribadian seseorang. Pencerapan demi pencerapan; impresi demi impresi; bahkan penetrasi terhadap konsep yang sama sekali baru, datang secara mobil dari lingkungan sosial dan budayanya. Hal ini akan membuat perubahan-perubahan sikap mental yang cukup signifikan.
Hem ! Perlu saya tandaskan, definisi Remaja merupakan bagian dari Konsep Generasi Muda. Barangkali laik disebut Generasi Muda Yunior sebab stratifikasi usianya merangkum kisaran dua belas sampai dua puluh empat tahun. Selebihnya termasuk dalam kategori generasi muda senior. Sekali lagi, ini penandasan atas dasar pendapat saya.
Hadirin,
Lalu perubahan macam apakah yang layak diharapkan dan pantas didambakan ? Eksplosif jawabnya. Yaitu perubahan dari keadaan semula menuju kepada keadaan yang relatif lebih baik, lebih tinggi nilai hakikat dan manfaatnya. Inilah kondisi Peningkatan. Predikat-Meningkat.
Hadirin yang arif bijaksana,
Sejauh ini urgensi latihan dan latihan dalam aktivitas kehidupan merupakan realitas tak terbantah. Maka harus kita mulai sejak dini. Berbagai aspek kegiatan dalam kontribusi kehidupan sepatutnya kita manaj, kita susun dan rencanakan secara apik dibarengi dengan tekad bulat, kita laksanakan dengan penuh kesadaran, kita jalankan dengan penuh disiplin. Alhasil, Dewi cita-cita yang didamba lebih cepat tercapai. Insya Allah !
Demikian sekilas pidato saya, kurang dan lebihnya mohon dimaklumkan.
Terima Kasih.
3 Mei 2007
wsm
PUCUK DICINTA TOPAN TIBA
PUCUK DICINTA TOPAN TIBA
MENURUT SKENARIO POLITIK YANG BERKEMBANG TERAKHIR KEPEMIMPINAN NASIONAL ERA ORDE BARU HENDAK DINOBATKAN MENJADI “PAHLAWAN YANG SEMPURNA”
Gema MPR pada sidang 1998 menyiratkan agar sang pemimpin bilamana tutup usia masih dalam jabatan aktif sebagai presiden. Inilah sebuah upaya pembentukan opini yang mengarah kepada kultus individu, model taklid bahkan berlebih-lebihan karena bentuk spesifikasi kepemimpinan rapublik terkungkung dalam sistem absolutisme monarki.
Namun fakta berbicara lain. Bangsa Indonesia harus diselamatkan dari “bualan” Kekuasaan adalah Panglima menyusul krisis multi dimensi yang mencekam. Mahasiswa Diutus Tuhan selaku ujung tombak reformasi. Haji Muhammad Soeharto pun turun tahta dalam suasana negara porak poranda.
Sebagai mantan presiden kedua Indonesia ia mengisi sejarah dengan selengkap jasa-jasanya. Seluruh rakyat patut menghormati. Sebagai warga negara ia pun pantas mempertanggungjawabkan segala penyimpangan yang terjadi di depan mata bangsanya.
Asset kekayaan bersama keluarganya terhitung sejak adanya gejala penyelewengan dari konsesi politik Orde Baru, 1978 – 1998 (lihat konsideran di halaman depan) tetap perlu dilakukan investigasi.
Seting kondisi yang memungkinkan terlaksananya upaya tersebut Haji Muhammad Soeharto pantas bersikap, satu; memenuhi janjinya untuk “madeq pandita” melepaskan diri dari percaturan politik nasional, dua; dengan suka merta mengembalikan seluruh aset negara yang sempat tergaet selama menjabat, atau setidak-tidaknya dua puluh tahun terakhir, dan tiga; memperbanyak istighfar,menuluskan taubat, serta bertawadluk dengan merelakan putra-putri ataupun keluarga besarnya disidik dan diadili menurut hukum.
Seluruh keluarga diminta berlapang dada diikuti itikad baik sebagaimana patriot bangsa menempatkan sikap, yakni satu; menyatakan kebenaran hati nurani dihadapan penegak hukum atau sidang majlis tertinggi bahwa selama ini telah mendapat kemudahan, hak istimewa, sampai hak monopoli bisnis maupun ekstra-aktiifitas lainnya berkat jabatan orang tuanya, dua; menghentikan sementara berbagai kegiatan publik yang menonjol baik dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik sampai waktu tertentu dikeluarkannya status hukum tetap, tiga; dengan suka rela melaporkan kepada pihak kejaksaan hasil audit akuntan publik atas semua cakupan bisnisnya., atau dengan kesadaran penuh mengembalikannya kepada negara tanpa menunggu datangnya pemeriksaan.
Dengan melaksanakan diktum-diktum di atas niscaya rasa terpanggil untuk andil lebih banyak lagi memperbaiki keadaan ekonomi negara akan berimbas langsung mengembalikan pamor dan nama baik keluarga HM Soeharto. Masyarakat akan menyambut positif tatkala menjumpai mantan pemimpin berikut keluarganya hidup sederhana, kanaah, bersahaja dan bahagia di tengah kerumunan rakyat selagi membentangkan bendera ampera, merah putih. Demikianlah watak suritauladan pahlawan Pancasila.
Blabak, 1 Juni 1998
Whelly Sukis Moro Km, Eksponen mahasiswa 1978—dilansir di Suara Indonesia, 5 Juni 1998, Surabaya.
NAGARI LAWANG TRUS BHUMI
(kandasnya pemerintahan Orde Baru 1998)
Perahu politik Indonesia pasca kejatuhan Bung Karno tidak bisa lepas dari kendali tangan kepemimpinan Orde Baru. Konsensus Nasional 1966 – 1969 dicapai dengan konsesi melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Orde Baru telah menyelenggarakan pemilihan umum pertama 1971. kenyataan dan pengalaman dari pemilu pertama ini dijadikan pelajaran politik yang masih mengandung risiko, terutama yang bertalian dengan cita-cita stabilitas politik (statusquo). Sehingga perampingan jumlah partai peserta pemilu pun dilakukan—yang sedikit banyak mengekang pluralitas aspirasi masyarakat. Dari noktah inilah genderang watak penguasa ditabuh menandakan dimulainya era “Politik Otoriter”—pada versi Orde Lama dikenal dengan Demokrasi Terpimpin—menyusul pelaksanaan pemilu 1977,1982, 1987,1992, dan terakhir 1997.
Soeharto selaku administrator, manajer publik sekaligus Pemimpin Nasional niscaya mendapat legitimasi dari wakil-wakil rakyat yang natabene YesMan, seolah-olah rekayasa arranger dalam setiap konser di Gedung Legislatif yang megah itu, sehingga semakin leluasa menciptakan berbagai polecy di berbagai segi bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjalankan trade-mark kekuasaannya yakni Pancasila dan Pembangunan.
Segenap potensi fisik serta manifestasi hati nurani bangsa Indonesia dieksploatasi secara besar-besaran atas dasar satu komando atau kekuasaan tunggal,bagai raja yang setiap titahnya tak pernah mengandung salah. Setiap kritik, koreksi, sindiran maupun teguran dianggap sebuah ancaman besar bagi konsep stabilitas yang didambakan. Kekuasaan menjadi Panglima, siapa pun harus mematuhi, menyerah dan bertekuk lutut bilamana tidak menginginkan menyesal rugi, dinista, disiksa, bahkan mati konyol kalau tidak dipenjara.
Sejarah pun mencatat bahwa Demokrasi Pancasila terbukti telah diselewengkan dengan penafsiran sepihak sampai-sampai atraksi kesombongan pejabat tak ada lagi yang mampu menahannya. Berdengunglah slogan Single Majority yang menggambarkan hegemoni keangkuhan dan nafsu keserakahan sesama.
Kedaulatan rakyat tidak ubahnya lips-service di tengah-tengah rancunya kehidupan sosial yang diwarnai dengan arogansi serta perbenturan antar-klas dalam masyarakat. Kebijakan pembangunan ekonomi lambat laun makin jauh dari sasaran karena merajalelanya caracter-dissorder dan yang perlu diakui formulasinya menganut kapitalisme modern yang menitikberatkan pada pertumbuhan fisik kelas menengah keatas. Konsep ekonomi kerakyatan hanya ditempatkan di ruang belakang yang remang-remang dan cukup menjadi saksi korban ramainya perdagangan modal para penyandang privillese, katabelece lazimnya perilaku elit berkutat dalam tindakan kolusif.
Masyarakat kecil pada umumnya sebagai pemilik sah dan pemegang Ampera, bertubi-tubi menjadi obyek penderita dari investasi pembangunan. Kian hari kian merasakan desakannya. Kesenjangan di sana-sini makin menganga disertai berjangkitnya degradasi moral dan terkikisnya budaya luhur bangsa. Krisis pun merayap cepat menggerogoti penjuru penghidupan rakyat. Tiada tersirat lagi sinar harapan esok hari ibarat perahu tanpa haluan nan pasti.
Monolog
MONOLOG
...........................................................................................................................................
· “ amboy, aku ingin kenalan...”
“ piye, piye, piye-piye ...”
# “ tidak, ...aku tidak suka !”
“ kembang ? ha-ha...aku benci, benci ...”
· “ Oh, tuan ... ampunkan hamba !”
“ Telah mencoba berbijak bestari, bestari !?”
# “ Hua..ha,ha..ha....”
“ ... rupanya perlakuanmu hanya sekebat cambuk untuk menutupi
Kekerdilan diri ....”
( tutup mulut mendadak, lengang terpaku)
· “ Jangan ... jangan ....”
“ Hu-hu ... jangan, jangaaaa...nnnnnnnn”
(juara kedua bulan bakti lkmd du tujuh februari delapan delapan)
....................................................................................................................
Mengungsi
Diperankan oleh teater karang taruna jetak II mendapat juara umum pada bulan bakti lkmd delapan puluh delapan februari dua tujuh.
• “api masih berkobar, adikku...!”
• “lihatlah...bara; semakin luas. Pijar-pijar itu segera menyulut kita.”
+ (merangah, galau,membisu, wajah menyusut)
• “... tidak cukup semua ini diatasi dengan mematung, kita harus segera berbuat...berbuat, adikku ?!”
+ “ biarkan bromo mengamuk bermandikan darah. Aku terlanjur basah dalam lautan
Merah ...Ayah, mengapa kauharus mati di situ. Ayah...huk...huk......huk....” (diikuti
Suasana kesedihan dan duka mencekam)
# “kalian bagaimana ? jangan cengeng ! Sadarlah, waktu telah melangkah...kita mesti Mengejarnya sekarang juga !”
• + “Sekarang ??? (tergugah) ; “tapi bukankah kerabatku masih ada di belakang ?”
# “tidak ...! Justru kita yang terbelakang, sedang mereka telah sampai di sana” (muka Mendongak, mengawang). “Menjadi pahlawan !”
• + “Pahlawan ...???” (mata saling bertemu seakan tersadar).
• “Adikku, cepat lari !”
+ “Ya.., Lari mBak !”
# “Mengungsi” (Gumamnya sambil berlalu.)
Minggu, 06 Desember 2009
Baderbang Sisik Kencana
-->
- rekonsiliasi paradigma masyarakat terhadap eksistensi Pamuba,
- verivikasi dan diversifikasi pembudidayaan alamiah Pamuba di samping pemanfaatan airnya dapat diciptakan obyek wisata sejarah.
- mempersiapkan restorasi sarana dan prasarana transportasi untuk membuka zona ekonomi desa berkaitan dengan prospek wisata domestik maupun mondial.
- sosialisasi aktif untuk mencapai kesepahaman masyarakat lingkungan serta kesadaran bersama memelihara cagar budaya sebagai situs sejarah nasional. Sarana publikasi semisal dengan menerbitkan lifelet saku dirasa sangat berarti.
Ibunda
Ibunda
Oleh: Whelly Sukis Moro KM
Sinopsis:
Ibunda sudah menjanda sejak sang suami gugur di medan perang. Dua anak balitanya, Buro dan Taro menjadi yatim. Kendati dengan susah payah Ibunda mengasuh dan membesarkan mereka dengan cermat seperti pesan terakhir mendiang agar seksama dalam mendidik kedua anak itu. Namun setelah puluhan tahun hidup penuh keprihatinan—bersamaan dengan makin dewasa Buro dan Taro, perasaan Ibunda semakin resah dan kalut. Dua pemuda buah hatinya itu tak pernah menyenangkan hati bahkan jarang menjejakkan kaki di rumah. Buro dan Taro sibuk dengan urusannya sendiri. Ibunda mengambil Tinul, anak balita yatim piatu tetangga kampung untuk diasuh sebagai anak sekalian pengiring masa luangnya.
Setiap kali Buro kembali tentu dalam keadaan mabuk minuman. Sementara Tinul sudah menginjak remaja, menjadi dara yang patuh dan berbakti kepada Ibunda. Tinul setia menemani dengan mendengarkan cerita dan keluh kesah Ibunda bilamana memikirkan kedua puteranya tumbuh dan berkepribadian tidak seperti yang diidamkan. Demikian keadaan yang selalu berlangsung sampai Ibunda merasa mendongkol, tak tahan dalam duka nestapa. Terlebih lagi Taro sebagai kakak Buro sudah bertahun-tahun tak pulang atau sekedar kirim kabar.
Kekalutan menimpa Ibunda. Tanpa pesan apapun ia menghilang entah ke mana. Tinul seorang diri sudah capai mencari di mana-mana hasilnya nihil belaka. Di saat Tinul termenung dibuai kepedihan tiba-tiba sosok seorang pemuda datang. Kiranya Taro pulang kampung. Meskipun telah menjadi pejabat menengah ia masih lajang. Begitu ia menghadapi Tinul yang molek timbulah hasrat berahi. Kata-kata Taro norak tidak menunjukkan derajat kedudukannya. Ternyata ia pun mabuk persis kebiasaan Buro. Tinul ketakutan dan bertambah murung tatkala membujuk Tinul pergi untuk dikawini.
Bertepatan itu Buro datang maka terjadilah cek-cok di antara mereka. Satu sama lain saling menyalahkan lantaran kepergian Ibunda sudah dua hari belum kembali. Bantah-bantahan terjadi dan Tinul menjauh terpaku. Buro yang mabuk pun segera pergi setelah memeras uang simpanan Tinul.
Sementara di pinggir kota, tempat mangkal gelandangan—seorang wanita berdiri dalam keraguan seraya menyesali diri, merasa gagal mendidik putera. Saat itu sebuah mobil berhenti menghampiri. Dalam keremangan Taro turun lalu merayu wanita tersebut untuk diajak kencan. Wanita itu menolak, meronta dan berteriak. Kebetulan Buro lewat. Adu mulut terjadi lagi. Sesama pemabuk saling memperagakan rayuan yang baik dan sopan, suasananya tampak konyol. Si wanita pun menangis dan merintih setelah mengenali yang dihadapan adalah anak kandung sendiri, Kemudian ia pingsan.
Buro dan Taro kebingungan. Karena indikasi Buro mau memperdaya wanita itu, Taro pun melarangnya bahkan Taro menganggap adiknya telah senewen. Setengah sadar Buro pun membantu Taro mengangkat wanita malang itu ke rumah. Di kediaman Tinul menyambut dengan histeris…Ibu…?! Taro dan Buro terperangah. Sampai membelalakkan kedua mata kelopak pun bergerak menyingkap kesadaran demi kesadaran. Sementara Tinul terus berseloroh keras bahwa wanita itu Ibunda. Akhirnya keduanya insyaf menyusul pengisahan Ibunda selepas siuman, sesungguhnya ayah mereka adalah seorang pahlawan. Buro dan Taro terpana kemudian bertaubat di pangkuan Ibunda.
*
Pelaku :
1. Ibunda
2. Buro
3. Taro
4. Tinul
Pentas melukiskan ruang-depan rumah sangat sederhana. Sebuah balai-balai dan satu meja tua dengan dua kursi. Di atas meja terdapat lampu teplok. Pada dinding terpampang cermin kecil, di bawahnya terselip sisir plastik. Di dinding sebelah terdapat almanak berwarna kusut.
Babak Pertama
Tinul : ( Meratap dengan wajah muram, berdiri dan duduk, berselang seling.)
“ … ibu, ke mana engkau, ibu …, uhh..ufs…hu….”
“ Tak seorang pun berhasil menemukan keberadaanmu…uhh..hu…ufs….”
( Duduk lunglai )
“ Desa-desa kutembus; gunung kudaki, lembah kujamah…mengapa kautinggal-
kan Tinul yang papa ini, ibu…? Apa salahku ?”
“ Ajaklah diiri ini menyelam dalam deritamu, ibu…ibu…hu…hu…ufs….”
( Berdiri tegap, tubuh kelihatan semampai.)
“ Tuhan, dosakukah semua ini…? Kuingin berbakti kepadanya, pengganti ibu
kandung yang tiada; apakah aku harus yatim piatu kembali…? Oh, Tuhan…
semua ini kehendakMu… aku sengsara…merana…ukh-hu…ufs….”
Buro : ( Gontai, masuk pintu kelihatan limbung.)
“ Nul…! Ibuku mana ? Mana ibu …?
Tinul : ( Terperanjat lalu mengusap raut muka.)
“ …o, kak Buro; pulang, Kak ?”
Buro : “ Lekas katakan, di mana ibuku ? Ayo jawab, mana…?”
Tinul : ( Menunduk tak berkata.)
Buro : “ Kok bungkam…, jawablah ! Atau ingin rumah ini kugebrak biar roboh menimpamu ?!”
Tinul : ( Gugup seolah ketakutan. Spontan berbisik.)
“… Ibu sudah dua minggu menghilang, Kak…!”
Buro : ( Tak menggubris. Membentak.)
“ … ah persetan ! Aku pulang butuh uang sekarang juga, seratus …;
kalau tidak ada, jual pekarangan atau rumah ini sekalian !”
Tinul : ( Gemetar, panik.)
Seketika Taro datang dengan sikap tegap dan berbusana rapi, perlente.
Taro : “ Aduh, aduh…! Sekian tahun tak jumpa, rupanya adik angkatku telah
Tumbuh besar dan cantik….”
( Memandangi dengan tajam.)
“ Cek-cek… perawan manis, sambutlah abangmu, sayang !?”
Tinul : ( Mendengus heran. Mendekat.)
“ Kak, Taro … ?!”
Taro : ( Mencubit dagu Tinul.)
“ Tinul, namamu ganti Tina saja, ya ?! Biar afdol …!”
“ … hem, di mana Ibu ?”
Tinul : ( Berat untuk menjawab. Kelabakan.)
Taro : “ …ya, ya…ya ! Minta izin kepada Ibu, kita kawin…ha,ha…ha….”
“ Ibu…, anakmu yang terhurmat pulang… akan membahagiakan Tina dan
Ibu. Ibu, ha…ha…ha….”
Buro : ( Menyaksikan dengan sinis lalu tersinggung.)
“ Bandit julik…bilang terhurmat ! Bangsaaat, kauharus tahu diri… Berapa
orang kurban yang telah kautelan… TKW, Capeg, TKI…ratusan angkatan
kerja kauhisap, kauperas dengan janji-janji palsu…! Dasar calomaniak;
di tanganmu martabat keluarga kita rusak…tetangga resah…masyarakat
kacau !”
Taro : “ Diam, kunyuk ! … anak bebal mau menggurui abangnya….”
Buro : ( Tidak membalas, melirik tak acuh.)
“ …ho, Ibu minggat sudah lama…, mau menuntut,. apa ?”
Taro : “ Pantas, karena teren memikirkan perilakumu… pemalas, pendusta,
Pemabuk…’ntar pencuri !”
Buro : “ Cukup ! Kau sok suci, ya ? Bercerminlah… terdapat iblis di mulutmu !”
Taro : “ Sudah, jangan campuri urusanku !”
(Mendekat Tinul, memegang lengan.)
“ Tin, berkemaslah… ikut aku berbulan madu, yuk…!”
Tinul : (Memalingkan muka. Cemberut.)
Buro : “…Nul, jangan mau !”
Taro : ( Mundur dan bermuka muram.)
Buro :” Nul, uangmu kupinjam dulu, sini cepat ?!”
Tinul : ( Dalam panik mengulurkan isi dompetnya.)
Buro : ( Seketika pergi berlalu.)
Babak Kedua
Di tepi jalan seorang ibu berpakaian lusuh berdiri lesu, kemudian berjongkok dan bersimpuh. Menyesali diri. Sesekali lampu kendaraan memperjelas keremangan suasana.
Ibunda : “ Tuhan…, hambaMu berdosa, tak becus mendidik anak-anak ! …HambaMu
Hina, menjadi pecundang kehidupan …ukh…ufs…ufs…hu, hu…huuuk…terima-
lah hamba, ya Tuhan !”
“ … layang-layang putus tali…mana tempat bertumpu… oh, suamiku ! Maafkan
Istrimu gagal membimbing Taro dan Buro mewarisi kepahlawananmu… oh,
Satriaku… hukumlah istrimu ini …ukh..ukh …ufs….”
“ Tinul ! Bagaimana dengan dirimu, Nul…, Nul…! Terpaksa kau kutinggal, ibu tak
Kuasa menahan dampratan kakak-kakakmu lagiiii..iii…iiiii..hiii,hi..hiii….”
“ … Tuhan, lindungilah Tinul dan sadarkanlah kedua anakku ke jalan lurus…!”
( Bangkit berdiri, jongkok, berdiri, bersimpuh, berdiri merontakan tubuh.)
“ Suamiku, suamiku… semoga kautetap tenang di pangkuan pertiwi sebagai pahla-
wan tanpa tanda jasa…tanpa simbol kehurmatan… biarlah daku saja yang mena-
nggung nasib begini, satria…bahagialah…hu..hu…hu…huuu….”
Dari atas mobil Taro melihat sosok wanita kemudian turun. Sambil mendekat berbisik seorang diri.
Taro : “…nah, badan capai ada perempuan pemijat, okey !”
( Mengamat-amati perempuan itu.)
“ Cakep juga,,,, mulus lagi, …kumandikan saja gelandangan ini… lalu kuganti daster
Putih, pasti…hem ! Sentuhannya tentu lebih panas dari Susi, Rita, Abrey, Nikai
maupun kupu-kupu lainnya. Ahai … jadilah aku laki-laki sejati !”
Ibunda : ( Tak bergeming, muka muram dan berpaling.)
Taro : “Neng…!”
( Menepuk lengan si wanita.)
“ Kalau mangkal di sini jangan terlalu sore, … atau mungkin kehabisan kapital ?”
( Merogoh kocek.)
“ Ini ada sedikit modal, terimalah !”
Ibunda : ( Terdiam merunduk dan terisak dalam rintihan.)
Taro : “Tak usah takut, Neng ! Bapak ini aparat, siap membantu kesulitan Neneng. Ayo ikut
Bapak …! …ayo, tidak apa-apa… aman !”
Ibunda : ( Menggeleng-gelengkan kepala dan beranjak tempat. Pelita yang sembab ditutup
Dengan kedua tangan.)
Taro : “Cepatlah…, entar kena garuk, lho ! Kalau mau, saya beri pekerjaan tetap…kebetulan
Bapak butuh beberapa pegawai ! … ayo, toh…!”
( Menggandeng tangan wanita itu.)
Ibunda : ( Menangkis badannya melonjak-lonjak dan berteriak.)
“ …lepaskan, lepaskan, lepasss…kan….”
Di situ Buro lewat dalam keadaan mabuk. Mendengar dan melihat kejadian tersebut, ia dekati.)
Buro : “Bos ! Jangan diperkosa, Bos… dia kekasihku, biasa kencan denganku di sini…!”
Taro : ( Menggerundel dan mundur selangkah.)
“ Sialan…, Buro sinting beneran.”
Buro : ( Merayu si wanita.)
“ Oh, kekasih… pandanglah Abang… ah,jangan ngambek begitu. Yuk, kita hoi-hoi….
Ha..ha…haaa….”
( Berusaha memeluk.)
Taro : ( Cepat bergerak menepis.)
Buro : “…ah, Bos…sekali ini saja biarkan aku bercinta-ria !”
“ …kekasih, coba dengarkan gandrungan Abang…ahai….”
( Melantunkan syair rayuan. Suaranya sumbang.)
Ibunda : ( Berteriak keras dan patah-patah.)
“ Tidak…,tidak, tid…dak…. Tuhan, malapetaka apa ini…azab apaa…huuu-uu,
…huuu..uuuu…uuuu….”
( Kejang, rebah dan pingsan.)
Buro dan Taro saling memandang dengan pancaran sinis. Keduanya tampak bingung.)
Taro : “ Hai…, jangan sekali-kali melukai dia !”
Buro : “ Ha…ha…haa…haaa… ia pura-pura tidur, itu berarti …siap ! …sabar dulu, kasih !
Hihuk-hihuk…ha…ha….”
Taro : ( Dengan sekuat tenaga mengangkat si wanita masuk kendaraan. Gontai Buro mem-
buntuti dengan tangan kanan menjulur ke depan.)
“ Dasar gila !”
Buro : “ E-e-e… mau kabur ke mana kita … Mari manis turut Abang pulang, huak….”
( Mundur ke belakang.)
Babak Ketiga
Tinul duduk tercenung di atas balai-balai mengarah ke halaman. Melipat lengan bajunya.
Terperanjat melihat Taro dan Buro datang menjinjing tubuh seorang wanita. Berdiri dan kaget.
Buro : “…he, ini rumah ibuku…jangan nangsi di sini, …kuminta jangan, Bos !”
Taro : “ Nul…eh, Tin ?! Siapkan tempat segera !”
Tinul : (Terdedah ragu. Melihat-lihat gerangan wanita itu.)
“ Ibuku…Ibuku…!”
(Memeluk, mendekap menghimpitkan muka seraya menangis.)
“…kenapa dia, Kak ?!?”
Buro : “Mimpi, Nul…! Bukan ibu, bukan ibu…Ibu minggat, Ibu sudah minggaaaat…hah…!”
Taro : “ Perempuan ini calun pembantu kita, Tin…bukannya ibu !”
Tinul : (Teriak histeris.)
“ Ini Ibu, Ibu…ibuuuuuuuu…ufs, hu…ufs,hhuuu-huu-hu…. Jangan, jangan diperlaku-
kan demikian…, jaaangaaaan..hau..hu…ufs wanita ini Ibu kita, Ibu kita…Kak ! …
uuuhhhuuh…ufs….”
Taro dan Buro bertentang pandang. Mundur terguncang karena dada keduanya didorong-dorong
Tinul.
Taro : “…bukankah Ibu telah hilang ? Lenyap dari kenyataan karena kuwalahan dalam
mendidik, membeayai anak-anaknya… kemudian tega menghindar dari kesengsara-
an kami ini …?”
Buro : ( Beringas. Mata terbelalak.)
“ Inikah Ibu yang munafik…, seperti kemunafikan ayah yang enggan memelihara
kami lalu bunuh diri di depan Belanda…kemudian orang menyebutnya pahlawan !
Pahlawan…? Huh….”
Tinul : ( Diam-diam mendongkol dan membentak.)
“ Tutup mulut, kalian …! “
Ibunda : ( Terusik, siuman, dan sadarkan diri. Sambil memandang berkata pelan.)
“ … hoeh… dengar kata-kata adikmu ! Akulah ibu kandungmu Buro, Taro…hoehh…!”
Tinul : ( Kontan memeluki Ibunda sambil membimbing duduk, berbicara kelu.)
“ Ayah adalah pahlawan sejati walau orang tak banyak mengerti…konon, …dalam
Class kedua beliau mempertahankan Kalasan dan gugur… kalian tak mengerti
karena tak sudi mendampingi Ibu—kalian durhaka…selalu mengutuk orang tua !”
Buro : ( Duduk lunglai. Roman memerah dan terisak-isak.)
Taro : ( Tubuhnya seperti lunglai, merebah di samping kanan.)
Ibunda : ( Duduk menghadap ke depan bersandar badan Tinul. Berkata lambat.)
“ …sebelum tutup usia, ayahmu berpesan ‘ siapkan Taro dan Buro melanjutkan
perjuangan sebagai patriot sejati ‘ … namun, malang nasib ibu…huu…ufs…”
( Terselang dalam isak tangis. Tinul memijit-mijit bahunya.)
“…ufs…ufs…, kedua anakku manja—aleman—bandel, bertingkah laku …tak terpuji
…. memalukan…hu…huuuk…huuuuuk..ufs….”
Tinul : ( Duduknya agak berjingkat, masih memegangi pundak Ibunda. Sesekali mengusap-
air mata Ibunda dengan kain yang dikenakan.)
Ibunda : ( Kedua tangan menjulur hendak meraih Taro dan Buro.)
Buro : ( Tanpa bersuara, meniarap, memeluk pangkuan kaki kiri Ibunda. Mata berkaca-
kaca.)
Taro : (Menggeserkan badan rebah di pangkuan kaki kanan Ibunda. Melampiaskan perasa-
an sesal.)
“… maafkanlah puteramu…Bu,…Ibu…ampuni dosa-dosa..ku, Ibu…!”
Ibunda : ( Serta merta memeluk erat kedua puteranya.)
tamat
Sendalu
Sendalu
Oleh: Whelly Sukis Moro KM
Debu bercampur pasir bagai ditebarkan ke segala arah. Terpaan hembus kencang disertai redupnya cahaya siang mengejutkan semua orang. Yawinata pun terpaksa menutup pintu beranda yang biasanya terbuka dua puluh empat jam. Belum sempat beranjak ke dalam teleponnya berdering , dengan bergegas ia menangkapnya.
“Bapak, saat ini juga berangkat ke Solo !” Suara Onengan, istrinya membuat manajer senior itu sedikit gugup, “Apa ? Hallo…! Ya-ya, …apa Della sakit, Ma ?”
“Tidak ! Putri kita sehat-sehat saja ! Ada soal penting berkenaan dengan tugas Bapak ! Segera, ya ? Ditunggu !” Cemara dan jajaran antena tv kelihatan bergoyang-goyang semakin keras. Deru udara yang bergerak pun merasuki fentilasi. Tiba-tiba pintu terketuk dari luar, Yawinata membukanya, “ Ada badai, ya ?!” Yang disapa gagap seraya memperlihatkan sikap hurmat, “Bukan, kok Pak ! Mungkin tanda-tanda puting beliung !” jawab Naomi sopan, selanjutnya “Bapak mempunyai agenda keluar ? Tampaknya sudah siap berangkat.” “Benar, ibu meminta aku harus terbang ke Jawa sekarang.” Naomi terkejut heran, jangan-jangan di sana … karena “Bapak, saya baru mendapat email-IGSS harus hari ini juga sampai disana ! Bagaimana, nih ?” Agak panik. “Sudah, kamu siap-siap dan berangkat sama-sama !” Pinta Yawinata kepada sekretaris asuhannya itu.
Beberapa menit kemudian Yawinata dan Naomi mendapatkan taksi menuju bandara. Ribut angin mulai reda. Penerbangan jurusan Solo mereka tumpangi hingga selamat di Adi sumarmo. Dari sini Naomi meluncur sendiri ke alamat PT IGSS di Palur sedangkan Yawinata menuju Cemara Jajar di mana istrinya menunggu. Merupakan warung gado-gado tempat Della, putrinya mondok.
Kemarin helat rundingan telah diadakan di rumah Hesti ini. Onengan dan Della sepakat menyambut Yawinata tanpa disertai oleh tuan rumah dahulu. Hesti pun mengiyakan. Kiranya rencana itu terlaksana dengan baik. Beberapa saat setelah Yawinata bercengkerama dengan istri dan putrinya tiba-tiba Hesti muncul dengan kedua tangan menjinjing nampan berisi segelas air teh dan sekaleng Khong Guan. Yawinata kaget bukan kepalang laksana diserang guntur. “Selamat berjumpa lagi Daniyarta !” Sambut Hesti dengan nada tinggi. Yang disapa gemetaran dibarengi perubahan muka merah padam dengan bibir komat-kamit. “Sudah puluhan tahun kita tak bersua rupanya banyak yang berubah, di antaranya nama pun diganti Yawinata.” Serbu Hesti dengan muka malap. Yawinata terdedah kelu sontak berkata kelenggam kerongkongan, “Iy-yyaa…ya, ini Hesti kan ?” Hesti keheranan, masih menggeleng-geleng ia mengambil duduk agak di sudut, “Jika kaubukan tamuku niscaya sudah kubilang pikun… kali ini buktinya, sudah faham masih bisa berulah pura-pura !” Yawi bertambah gugup, “Maafkan diriku, Hesti !” Peluhnya melembabi jidatnya yang membidang itu. Onengan dan Della mengerit ambil jarak seolah-olah tak mau mengganggu jalannya percakapan itu. Namun menyaksikan kondisi mulai dikuasai emosi, Onengan nekat menyelang, “Bapak mesti mengakui kenyataan ini; bukankah bu Hesti istri pertama Bapak ?!” Yawinata terperangah. Di tengah mau membuka mulut, Onengan meneruskan diikuti mata yang berkaca-kaca, “Aku juga wanita ! Bayangkan selama tiga windu Bapak ingkar dan menelantarkan mereka begitu saja, tega sekali !” Terisak-isak tak kuat menyangga sentimennya selantas ia direngkuh Della. Yawinata tak bergeming hanya kepalan tangannya yang menyangga kening sendiri.
Sepanjang hayat baru kali ini Della mendapati ayah kandungnya bak macan ompong yang lunglai, selirih pun tak mampu mengaum. Terpancinglah Della angkat bicara, “Ayah…!” Tatapan Yawinata nanar. “Ayah harus tegas, harus tegar… tunjukkan jiwa besar ayah seperti yang selalu ayah ajarkan kepada Della !” desaknya. Barangkali sekedar membentangkan perisai diri, Yawinata menyulam bahasa pemanis lidah, “Memang bapak sudah melakukan kesalahan fatal.
Sejarah hitam tertoreh panjang mengisi halaman hidup masa lalu. Adakah cara terbaik menuju rehabilitasi pribadi ?” mengeluh hiba selanjutnya merunduk seolah-olah ingin menuangkan seisi
sanubari kepada Hesti, “Hesti ! Tolong aku Daniyarta ganjarlah menurut kehendakmu atau paling tidak utarakanlah permintaan yang mana dapat membayar tunai kejahatan dan dosaku !” Hesti sedu sedan melulu. Onengan dan Della menghambur dan memeluk dari sisi kanan dan kiri. Della berkata, “Mengapa ayah tetap plin-plan juga. Kisahkan dan akuilah terus terang dan tulus!”
Yawinata menegap memandang putrinya, “Sebaiknya kamu belajar budi perkerti, Dell !” pintanya. Della menepis, “ Yah, Della pun anak wanita. Bagaimana kalau nasib bu Hesti juga menimpaku kelak ? Dalam keadaan hamil diingkari, setelah anak lahir pun dipedulikan. Sangsai berlangsung terus, terus tanpa ditanyakan keadaannya hingga sekarang ini. Ayah, adalah figur sentral bagi anak-anak untuk mengadu dan berbangga. Berilah kami kesempatan tumbuh sihat dan dewasa !” Sekujur tubuh Yawinata seakan dikelayapi bara panas mendengar pernyataan sang anak sampai putih bola matanya berubah merah. Gerung tangis Hesti bertaut ratapan Onengan. “Hiyya, adakah anakku telah lahir dan sekarang di mana, Hesti ?” Semua sinis. Tutup mulut.
Sementara itu di kantor PT IGSS, Naomi sudah berhadapan dan berbincang dengan Laksmi, atasan yang berwenang mendelegasikan pegawai. Dalam pikirannya Laksmi adalah wanita profesional yang sukses. Meskipun identik dengan sosok perawan tua, julukan itu tidak mengurangi rasa salut orang lain terhadap keteguhannya dalam memegang prinsip, tegas dan berwibawa. Dalam wacana batin Naomi, ia menjadi tumpuan mendapatkan jawaban yang jitu dari setiap pertanyaan yang timbul; walau kali ini pertanyaan itu meluncur dari beliau sendiri, “Benar, Bu ! Saya hanya ingin mencurahkan skill dan sedikit pengetahuan saya untuk mencapai kinerja optimal.” Jelas Naomi.
“Bagus !” tabik Laksmi sembari menyajikan dua mug-pocari dari rak dinding persis di belakang duduknya. “Ibu acungi jempol atas sikapmu ! Tindakanmu mencerminkan dedikasi yang tinggi.”
Naomi ragu mendapat penilaian tersebut, tanpa disadari mug yang nyaris diangkatnya seketika diletakkan kembali, “Maksud Ibu ?” helanya, “Keputusan saya untuk langsung menghadap Ibu semata-mata demi tugas, lain tidak !” Dalih Naomi langsung disambut Laksmi sembari mempersilakan minum, “Umumnya orang lebih menuruti perasaan pribadinya, sedang kamu tidak. Begitu tiba dari Palembang lurus menuju kantor bukan mengikuti Yawinata pulang ke rumah dahulu !” Diam. Laksmi meneruskan seraya menyorong kursinya ke belakang, “Diakah yang menyarankanmu segera menemui aku ? Padahal tujuan dia hanya untuk menjumpai istri dan putrinya di rumah ibumu, ibu Hesti !” Naomi kontemplasi dari mana Laksmi mengetahui maksud Yawinata. Tak habis pikir dia pun menjawab, “Tidak !” sontak tercenung.
Tiba-tiba seorang pegawai masuk memohon tanda tangan, Laksmi berpesan, “Barang untuk PT Surya sudah dikirim ?” Orang itu membungkukkan badan ala orang Jepang. “Tolong semua dokumen yang perlu disposisi disiapkan sekalian; hari ini aku ada tugas luar dan persoalan lain-lain ditekel mbak Indah Dian, begitu ya ?!” Sesudah menyatakan siap ia pun mohon diri. Laksmi melanjutkan bicara, “Berarti hal itu kauputuskan sendiri dengan pertimbangan-pertimbangan ….” Kejar Laksmi serenta diretas Naomi, “Saya tahu pak Yawinata datang ke rumah tetapi itu kan urusan keluarga beliau sedangkan saya harus kemari untuk tugas, perlu dikedepankan.” Laksmi memotong,”Nah, ini yang ibu maksud ! Langkahmu merupakan jawaban paling benar sehingga kamu dinyatakan lulus !” Tangannya dijulurkan ke arah Naomi dan bersambut menjadi jabat tangan disertai senyum riang. Saat kedua wanita eksekutif ini bersulang, muncul seorang pesuruh katering menyajikan Bakpao, Miku dan Resoles di atas sebuah piring lebar; keduanya terus menikmati penganan itu. Sejenak kemudian Laksmi mencomot tisue meja sambil berkata hati-hati, “Saudari Naomi ?!” “Ya !” Dengan seksama Laksmi menuturkan, “Satu pertanyaan lagi tolong jawab dengan tulus !” Naomi sigap.Mata belalak menyiaga telinga, “Bagaimana, Bu ?” tak sabar. “Ini serius. Pernahkan ibumu menyinggung perihal ayahmu ?” Pandangan Naomi mengabur. Setelah mengusap-usap pelupuknya lantas menjawab, “Belum, belum pernah !” menggeleng tunduk. Laksmi memperhatikan fiilnya dengan khidmat, Naomi merasa kikuk lalu membilang “Sejak saya TK ibunda mengatakan saya anak yatim !” Mendengar hal ini Laksmi masyuk, kelihatan matanya menyembab. Naomi mengetahui perubahan mimik itu sontak menghela, “Ibu kurang berkenan dengan kata-kata saya ?” Dengan membuka kaca mata serta menyeka dengan sapu tangan, Laksmi menyanggah, “Tidak, tidak…ibu hanya empati manakala disebutkan kata yatim. Silakan lanjutkan !” Optik itu pun dikenakannya kembali. Naomi menyambung, “Begitu saya menginjak remaja acapkali timbul pikiran ingin ziarah ke makam ayah. Namun ibu pun belum tahu di mana pusaranya. Konon sejak kepergian ayah ke sebrang sekali pun belum pernah pulang, kabarnya sebelum saya lahir ayah sudah dipanggil Tuhan.” Dengan sesak dada Laksmi menyelami kata demi kata yang diucapkan Naomi sehingga hanyut ke dalam lela dan air mata. Kelihatannya Laksmi hendak meloncat mendekap Naomi erat-erat tetapi ia tetap menahan perasaan. “Saya teruskan, ya Bu ?!” Laksmi membuka telapak tangan kanannya ke depan. “Maaf kalau dalam akte kelahiran itu tersurat status saya sebagai ‘anak-ibu’ karena mungkin surat nikah waktu itu belum jadi atau mungkin baru nikah siri, saya kurang mengerti !” jelas Naomi polos.
Laksmi diam memandang tubuh Naomi, sesekali mengangguk sendiri. “Sebenarnya apa yang terjadi, Bu ?” penasaran. Beberapa saat menanti jawab, Naomi sempat berjudi melawan purbasangka terkait arah interview ini, masalah karier, keluarga, jodoh, atau rahasia lain yang semuanya serupa anekdot timbul-tenggelam dalam angan. Setengah sadar ia mendesah, “Ah…!” Laksmi tergelitik dan menyambut, ” Mengapa Naomi ? Melamun, ya ?!” Ia tersipu terlebih lagi mendengar saran Laksmi, “Jangan suka begitu, masih muda !” Naomi kelicutan sambil membuang muka.
“Tenang Naomi, jangan berpraduga buruk sebab hal ini urusan dinas semata.” Menyambung lagi, “Pembicaraan kita di depan ibu pikir lebih afdol dirampungkan di hadapan Yawinata. Di samping timingnya tepat tokh dia yang selalu meminta tenaga-tenaga professional kita. Kau siap ke sana ?” “Siap, Bu !” Seraya berjangkit meraih slipnya Laksmi berkata, “Okey, sekalian menemui ibumu !” Dengan mengendarai “Jass” kedua wanita berbeda generasi itu menukik ke Cemara Jajar. Kendaraan merah itu diparkir di benderung antara rumah tetangga yang teduh.
Surya condong ke barat melahirkan santir langkah kaki. Maju hati-hati seperti menyiasat muncul di saat yang tepat. Hati kecil Naomi berbisik, ternyata Laksmi telah hafal dengan situasi sampai ia yang memandu dan Naomi mengikuti. Melewati pintu samping masuk ke kacapuri. Dari sini Naomi semakin yakin kalau Laksmi sudah terbiasa mengunjungi ibunya. Kemudian mereka menginding peristiwa yang sedang terjadi di ruang depan. Laksmi membibih ke telinga Naomi, “Lihat, Yawinata teringa-inga diungkit perbuatannya oleh ibumu, Hesti !” Naomi mengantuk-antuk haru mendengar suara Yawinata terkapah menanyakan dimana anaknya sekarang.
Seketika itu Laksmi menggandeng Naomi keluar seraya menegas, “Ini anakmu, Daniyarta !” Sontak derai tangis bergema menghirun hati. Sekotah rumah tercengang dan Naomi lepas menghalakan badan ke arah Hesti yang terus rembah-rembih. Della dan Onengan saling ratap beringsut ke belakang Hesti. “Ibu !” pekiknya sambil mengampu sang ibu duduk sedang dia sendiri langsung berdeku.
Yawinata tak kuasa lagi berkeletah bahkan sikapnya berubah kedi berwajah iram. Pelan-pelan Laksmi menyeret kedera duduk mendampingi keempat wanita itu, berjarak sekitar sedepa dari kenap Yawinata alias Daniyarta. Dalam kelu mereka memandangi wajah yang semakin karut itu, bilamana melakukan ikrar pengakuan. Menanti terasa sangat lamban malah mencekam berlelehan air mata bagaikan murka Merapi menyembur wedus gembel. Bergaunglah suara berat terbata, “Aku faham, kalian adalah lima srikandi yang akan mengadili Daniyarta,kan ?” Laksmi spontan berdiri, “Seorang Daniyarta ialah mahajana cinta, sudah bangka pun masih lengkanas melempar kurbannya terkulai lengar-lengar !” Sanggahnya kemudian ditepis, “Laksmi !” dagu Daniyarta mencugat. “Tak usah cas-cus. Sama-sama sudah rimpuh jangankan dikeroyok lima, satu-satu mungkin imbang !” Tantangnya. Kuping Onengan memerah sehingga menyelang, “Kalau pikiran bapak demikian silakan kumpulkan pembela sejumlah lelaki ! Aku yakin di seluruh kota ini tak satu pun yang sudi !?” Yawinata mendadak bungkam. Sapuan kerlingnya menangkap bukti bahwa di antara mereka sudah setali dua uang.
Sentara Laksmi merabai pundak Hesti dalam pelukan Naomi, terdengar letupan bibir Yawinata kembali. “Ya-Tuhan, ampunilah diri dan keluargaku !” Sengap. Menghiba dengan muka diraut sepuluh jemari tangannya. Laksmi tiba-tiba menengah, “Benar sesungguhnya kita semua telah berdosa. Diriku pun banyak khilaf.” Belum berlanjut, Onengan terbayang kisah hitam suaminya telah menelantarkan Hesti dengan keji, “Sesakit-sakitnya luka hatiku saat ini jauh lebih sakit penderitaan Laksmi !” ungkapnya sembari minta maaf kepada Laksmi lantaran dulu telah menyewat Daniyarta dari genggamannya. Langsung ditanggapi Laksmi, “Sekecewa-kecewanya hidupku pasti lebih kecewa Hesti !” Sambungnya, “Sepantun dengan Onengan, dengan ini aku minta maaf kepada seseorang yang pernah kukecewakan sepanjang hidupnya.” Menunduk dan merambas seraya mengeluarkan kliping cerpen berjudul Sendalu karangan Andramas Kaem, “Ini beti di antara karya orang itu, coba dibuka !” Della meraih dan membaca seperti terkagum-kagum. “Kami lebih dulu berkasih sebelum Daniyarta merenggut hatiku. Kasihan hingga kini senyur itu membujang karena kecewa dan frustrasi, meski tak berkontak aku tahu dari media, kehidupannya semata prawangsa dan dengan diam-diam aku terdorong mengoleksi sejumlah naskahnya.”
Menyelami pernyataan tadi mereka seolah-olah menyadari bahwa hidup semacam ping-pong satu sama lain saling berselungkang bola nasib. Berkait dengan sikap Yawinata yang santai mereka jadi kesal sampai menuangkan protes dalam pernyataan bersama, “Sekejam-kejamnya perbuatan Daniyarta terhadap wanita, paling jahat tindakannya kepada Hesti !” dan “Seumur-umur Naomi telah dicampakkan hak-haknya oleh ayah sendiri !” serta “Anak ini berhak menuntut dan mengadili Daniyarta alias Yawinata menurut kemauannya !”
Dengan lantang Della Youne turun bicara menekan ayahnya untuk mengakui kecerobohannya dan insyaf, “Ayah, tunjukkan di hadapan Della ‘Jiwa Besar’ yang ayah ajarkan kepada Della guna mengatasi ketidakbecusan ayah sekarang ini !” Membisu. Tidak terdapat reaksi di mimiknya. Justru Naomi yang semula dingin tahu-tahu mengangkat ikrar, “Kalau benar dia ayah saya, niscaya saya akan menerimanya dengan satu tuntutan, akuilah ibuku selaku istri yang
pantas ! Jika sudah demikian tinggal Naomi patuh dan berbakti terhadap perintah-nasihatnya, cukup ! Karena sesungguhnya setiap perbuatan dosa mesti dihadapkan pada pengadilan mahkamah nanti !”
Pernyataan santun Naomi mencerminkan kemuliaan hatinya, hal ini mengundang kagum sidang pancakirana tersebut. Yawinata tak kuasa bergeming laksana awan hitam meggelantung di kedua alisnya. Mendung yang melayang menggambarkan kancah pertumbuhan pekerti anak. Sesama anak kandung, Della berani melucuti aib sang ayah sedangkan Naomi bak anak yang terlepas dari asah didiknya bahkan lebih cerdas, hurmat serta pandai menempatkan diri. Yawinata mengakui gagal mendidik anak sedangkan Hesti jauh lebih unggul dalam hal membina pekerti generasi.
Kenyataan itu menjadi pemantik lahirnya keinsyafan Yawinata, “Aku mengaku tak pantas mengemban amanat pimpinan; dengan ini kulimpahkan tampuk PT IGSP kepada ibu Laksmi !” Reaksi Laksmi, “Enak saja menyebut ibu…, tua-tua begini aku masih gadis, lho !” Menampik. “Maaf ya bu Onengan, bu Hesti…, untuk sekali ini saja aku menentang kehendak pak Yawinata !” Yawinata murung menyadari sikap dan pernyataannya tidak memberikan faedah bagi mempertahankan harga dirinya lagi. Spontan ia menyapa Della Youne supaya mendekat, “Bagaimana pendapatmu, Della ?” Menggeleng tak acuh, “Ibu saja yang pantas menjawab !” Seketika Onengan melirik ramah pada Hesti, “Aku pun tak layak menentukan way-out persoalan ini !”
Tiba-tiba Laksmi kembali berdiri dengan pandangan lepas sembari melangkah mondar-mandir, “Ada seorang anak manusia selama tiga windu distatuskan yatim oleh keadaan, selama itu pula dirinya berkutat dalam kesengsaraan. Karakter kejiwaannya cenderung khusus dalam notasi positif. Hari ini menghadapi perubahan besar dan frontal terkait keyatimannya begitu ditemukan sang ayah…, masihkah ayah itu tega menzalimi kembali dengan membiarkan hak dan kepentingan hidupnya mengembara di belantara tanpa pemandu…, kok semakin biadab rasanya
kita !” Semua diam bersungut-sungut. Laksmi menambahkan, “Mengapa sang ayah dengan
remeh mengaku alpa tetapi terbukti sama sekali tak pernah menyesali perbuatannya, justru cenderung mengulang-ulang sehingga raiblah makna seorang Naomi !?” gusarnya. Berikut ia kisahkan bahwa Naomi merupakan gadis pemberani dan menyandang talenta tinggi. Hal itu dibuktikan ketika rombongan presiden berjalan hendak meresmikan IGSS. Kala itu ia berlari menyusup dalam rombongan sampai persis di belakang presiden sambil berteriak, “Bapak presiden, saya anak sengsara, saya anak Indonesia kasihani saya, beri saya pekerjaan !” Tak pelak pengawal langsung mengamankan Naomi tetapi Presiden tergerak menghentikan langkahnya seraya meraih tangan gadis itu sebagai wujud empati beliau, “Dengarkan, Ia !” begitu pesan presiden pada ajudan seraya meneruskan langkahnya. Tanggapan jabat tangan presiden tadi sudah memuaskan hati Naomi sampai-sampai permintaan yang masih menggayut di hatinya lupa begitu saja. Ia sudah senang walaupun terpaksa “diamankan” pihak berwajib. Atas bisikan nurani yang dalam, Laksmi mengurusnya seperti melayani pegawai resmi padahal posisi Naomi tidak lebih dari seorang pelamar kerja yang belum selesai menjalani tes. Sidang Pancakirana seperti hanyut dalam dramatikal yang dituturkan Laksmi. Tergamang-gamang menatap Naomi.
“Naomi !” Sapa Laksmi lugas. “Ya, bu !?” Lembut. “Mulai Senin besuk kamu mengganti kedudukanku memimpin staf, bersedia toh ?!” Naomi terpana, masam rautnya menandakan keraguan merundung. “Aku memutuskan mengundurkan diri untuk mengisi sisa usia ini menuju jalan yang lebih luhur bersama ibundamu. Sedikit tabungan yang terkumpul sudah diperoleh dua tiket umroh tahun ini juga !” lanjut Laksmi.
“Adik Laksmi ?!” tegur Hesti dengan wajah terharu. Dalam batin Hesti merasa kasihan terhadap pengorbanan Laksmi yang begitu besar sampai dia terus melajang hidup sebatang kara. Terlebih mendengar seruannya, “Benar bu Hesti, semua sudah disiapkan !” Tiba-tiba Della menyela, “ Ayah dan ibu, sekalian berangkat pula dong !?” Onengan menyarat , “Aku menunggu sikap Bapak dalam mengarifi pokok persoalan ini !” Yawinata tegap berdiri kemudian mendapati mereka; memeluk Naomi, menyalam Hesti dan Laksmi sembari berucap, “Tolong masukkan aku dalam bui pertaubatan !” (WSM 05.08)