Minggu, 06 Desember 2009

Ibunda

Naskah Drama


Ibunda

Oleh: Whelly Sukis Moro KM

Sinopsis:
Ibunda sudah menjanda sejak sang suami gugur di medan perang. Dua anak balitanya, Buro dan Taro menjadi yatim. Kendati dengan susah payah Ibunda mengasuh dan membesarkan mereka dengan cermat seperti pesan terakhir mendiang agar seksama dalam mendidik kedua anak itu. Namun setelah puluhan tahun hidup penuh keprihatinan—bersamaan dengan makin dewasa Buro dan Taro, perasaan Ibunda semakin resah dan kalut. Dua pemuda buah hatinya itu tak pernah menyenangkan hati bahkan jarang menjejakkan kaki di rumah. Buro dan Taro sibuk dengan urusannya sendiri. Ibunda mengambil Tinul, anak balita yatim piatu tetangga kampung untuk diasuh sebagai anak sekalian pengiring masa luangnya.
Setiap kali Buro kembali tentu dalam keadaan mabuk minuman. Sementara Tinul sudah menginjak remaja, menjadi dara yang patuh dan berbakti kepada Ibunda. Tinul setia menemani dengan mendengarkan cerita dan keluh kesah Ibunda bilamana memikirkan kedua puteranya tumbuh dan berkepribadian tidak seperti yang diidamkan. Demikian keadaan yang selalu berlangsung sampai Ibunda merasa mendongkol, tak tahan dalam duka nestapa. Terlebih lagi Taro sebagai kakak Buro sudah bertahun-tahun tak pulang atau sekedar kirim kabar.
Kekalutan menimpa Ibunda. Tanpa pesan apapun ia menghilang entah ke mana. Tinul seorang diri sudah capai mencari di mana-mana hasilnya nihil belaka. Di saat Tinul termenung dibuai kepedihan tiba-tiba sosok seorang pemuda datang. Kiranya Taro pulang kampung. Meskipun telah menjadi pejabat menengah ia masih lajang. Begitu ia menghadapi Tinul yang molek timbulah hasrat berahi. Kata-kata Taro norak tidak menunjukkan derajat kedudukannya. Ternyata ia pun mabuk persis kebiasaan Buro. Tinul ketakutan dan bertambah murung tatkala membujuk Tinul pergi untuk dikawini.
Bertepatan itu Buro datang maka terjadilah cek-cok di antara mereka. Satu sama lain saling menyalahkan lantaran kepergian Ibunda sudah dua hari belum kembali. Bantah-bantahan terjadi dan Tinul menjauh terpaku. Buro yang mabuk pun segera pergi setelah memeras uang simpanan Tinul.
Sementara di pinggir kota, tempat mangkal gelandangan—seorang wanita berdiri dalam keraguan seraya menyesali diri, merasa gagal mendidik putera. Saat itu sebuah mobil berhenti menghampiri. Dalam keremangan Taro turun lalu merayu wanita tersebut untuk diajak kencan. Wanita itu menolak, meronta dan berteriak. Kebetulan Buro lewat. Adu mulut terjadi lagi. Sesama pemabuk saling memperagakan rayuan yang baik dan sopan, suasananya tampak konyol. Si wanita pun menangis dan merintih setelah mengenali yang dihadapan adalah anak kandung sendiri, Kemudian ia pingsan.
Buro dan Taro kebingungan. Karena indikasi Buro mau memperdaya wanita itu, Taro pun melarangnya bahkan Taro menganggap adiknya telah senewen. Setengah sadar Buro pun membantu Taro mengangkat wanita malang itu ke rumah. Di kediaman Tinul menyambut dengan histeris…Ibu…?! Taro dan Buro terperangah. Sampai membelalakkan kedua mata kelopak pun bergerak menyingkap kesadaran demi kesadaran. Sementara Tinul terus berseloroh keras bahwa wanita itu Ibunda. Akhirnya keduanya insyaf menyusul pengisahan Ibunda selepas siuman, sesungguhnya ayah mereka adalah seorang pahlawan. Buro dan Taro terpana kemudian bertaubat di pangkuan Ibunda.

*





Pelaku :
1. Ibunda
2. Buro
3. Taro
4. Tinul

Pentas melukiskan ruang-depan rumah sangat sederhana. Sebuah balai-balai dan satu meja tua dengan dua kursi. Di atas meja terdapat lampu teplok. Pada dinding terpampang cermin kecil, di bawahnya terselip sisir plastik. Di dinding sebelah terdapat almanak berwarna kusut.


Babak Pertama
Tinul : ( Meratap dengan wajah muram, berdiri dan duduk, berselang seling.)
“ … ibu, ke mana engkau, ibu …, uhh..ufs…hu….”
“ Tak seorang pun berhasil menemukan keberadaanmu…uhh..hu…ufs….”
( Duduk lunglai )
“ Desa-desa kutembus; gunung kudaki, lembah kujamah…mengapa kautinggal-
kan Tinul yang papa ini, ibu…? Apa salahku ?”
“ Ajaklah diiri ini menyelam dalam deritamu, ibu…ibu…hu…hu…ufs….”
( Berdiri tegap, tubuh kelihatan semampai.)
“ Tuhan, dosakukah semua ini…? Kuingin berbakti kepadanya, pengganti ibu
kandung yang tiada; apakah aku harus yatim piatu kembali…? Oh, Tuhan…
semua ini kehendakMu… aku sengsara…merana…ukh-hu…ufs….”

Buro : ( Gontai, masuk pintu kelihatan limbung.)
“ Nul…! Ibuku mana ? Mana ibu …?

Tinul : ( Terperanjat lalu mengusap raut muka.)
“ …o, kak Buro; pulang, Kak ?”

Buro : “ Lekas katakan, di mana ibuku ? Ayo jawab, mana…?”

Tinul : ( Menunduk tak berkata.)

Buro : “ Kok bungkam…, jawablah ! Atau ingin rumah ini kugebrak biar roboh menimpamu ?!”


Tinul : ( Gugup seolah ketakutan. Spontan berbisik.)
“… Ibu sudah dua minggu menghilang, Kak…!”

Buro : ( Tak menggubris. Membentak.)
“ … ah persetan ! Aku pulang butuh uang sekarang juga, seratus …;
kalau tidak ada, jual pekarangan atau rumah ini sekalian !”

Tinul : ( Gemetar, panik.)

Seketika Taro datang dengan sikap tegap dan berbusana rapi, perlente.

Taro : “ Aduh, aduh…! Sekian tahun tak jumpa, rupanya adik angkatku telah
Tumbuh besar dan cantik….”
( Memandangi dengan tajam.)
“ Cek-cek… perawan manis, sambutlah abangmu, sayang !?”
Tinul : ( Mendengus heran. Mendekat.)
“ Kak, Taro … ?!”

Taro : ( Mencubit dagu Tinul.)
“ Tinul, namamu ganti Tina saja, ya ?! Biar afdol …!”
“ … hem, di mana Ibu ?”
Tinul : ( Berat untuk menjawab. Kelabakan.)
Taro : “ …ya, ya…ya ! Minta izin kepada Ibu, kita kawin…ha,ha…ha….”
“ Ibu…, anakmu yang terhurmat pulang… akan membahagiakan Tina dan
Ibu. Ibu, ha…ha…ha….”

Buro : ( Menyaksikan dengan sinis lalu tersinggung.)
“ Bandit julik…bilang terhurmat ! Bangsaaat, kauharus tahu diri… Berapa
orang kurban yang telah kautelan… TKW, Capeg, TKI…ratusan angkatan
kerja kauhisap, kauperas dengan janji-janji palsu…! Dasar calomaniak;
di tanganmu martabat keluarga kita rusak…tetangga resah…masyarakat
kacau !”
Taro : “ Diam, kunyuk ! … anak bebal mau menggurui abangnya….”
Buro : ( Tidak membalas, melirik tak acuh.)
“ …ho, Ibu minggat sudah lama…, mau menuntut,. apa ?”
Taro : “ Pantas, karena teren memikirkan perilakumu… pemalas, pendusta,
Pemabuk…’ntar pencuri !”
Buro : “ Cukup ! Kau sok suci, ya ? Bercerminlah… terdapat iblis di mulutmu !”
Taro : “ Sudah, jangan campuri urusanku !”
(Mendekat Tinul, memegang lengan.)
“ Tin, berkemaslah… ikut aku berbulan madu, yuk…!”

Tinul : (Memalingkan muka. Cemberut.)
Buro : “…Nul, jangan mau !”
Taro : ( Mundur dan bermuka muram.)
Buro :” Nul, uangmu kupinjam dulu, sini cepat ?!”
Tinul : ( Dalam panik mengulurkan isi dompetnya.)
Buro : ( Seketika pergi berlalu.)


Babak Kedua
Di tepi jalan seorang ibu berpakaian lusuh berdiri lesu, kemudian berjongkok dan bersimpuh. Menyesali diri. Sesekali lampu kendaraan memperjelas keremangan suasana.

Ibunda : “ Tuhan…, hambaMu berdosa, tak becus mendidik anak-anak ! …HambaMu
Hina, menjadi pecundang kehidupan …ukh…ufs…ufs…hu, hu…huuuk…terima-
lah hamba, ya Tuhan !”
“ … layang-layang putus tali…mana tempat bertumpu… oh, suamiku ! Maafkan
Istrimu gagal membimbing Taro dan Buro mewarisi kepahlawananmu… oh,
Satriaku… hukumlah istrimu ini …ukh..ukh …ufs….”
“ Tinul ! Bagaimana dengan dirimu, Nul…, Nul…! Terpaksa kau kutinggal, ibu tak
Kuasa menahan dampratan kakak-kakakmu lagiiii..iii…iiiii..hiii,hi..hiii….”
“ … Tuhan, lindungilah Tinul dan sadarkanlah kedua anakku ke jalan lurus…!”
( Bangkit berdiri, jongkok, berdiri, bersimpuh, berdiri merontakan tubuh.)
“ Suamiku, suamiku… semoga kautetap tenang di pangkuan pertiwi sebagai pahla-
wan tanpa tanda jasa…tanpa simbol kehurmatan… biarlah daku saja yang mena-
nggung nasib begini, satria…bahagialah…hu..hu…hu…huuu….”

Dari atas mobil Taro melihat sosok wanita kemudian turun. Sambil mendekat berbisik seorang diri.

Taro : “…nah, badan capai ada perempuan pemijat, okey !”
( Mengamat-amati perempuan itu.)
“ Cakep juga,,,, mulus lagi, …kumandikan saja gelandangan ini… lalu kuganti daster
Putih, pasti…hem ! Sentuhannya tentu lebih panas dari Susi, Rita, Abrey, Nikai
maupun kupu-kupu lainnya. Ahai … jadilah aku laki-laki sejati !”

Ibunda : ( Tak bergeming, muka muram dan berpaling.)

Taro : “Neng…!”
( Menepuk lengan si wanita.)
“ Kalau mangkal di sini jangan terlalu sore, … atau mungkin kehabisan kapital ?”
( Merogoh kocek.)
“ Ini ada sedikit modal, terimalah !”

Ibunda : ( Terdiam merunduk dan terisak dalam rintihan.)

Taro : “Tak usah takut, Neng ! Bapak ini aparat, siap membantu kesulitan Neneng. Ayo ikut
Bapak …! …ayo, tidak apa-apa… aman !”

Ibunda : ( Menggeleng-gelengkan kepala dan beranjak tempat. Pelita yang sembab ditutup
Dengan kedua tangan.)

Taro : “Cepatlah…, entar kena garuk, lho ! Kalau mau, saya beri pekerjaan tetap…kebetulan
Bapak butuh beberapa pegawai ! … ayo, toh…!”
( Menggandeng tangan wanita itu.)

Ibunda : ( Menangkis badannya melonjak-lonjak dan berteriak.)
“ …lepaskan, lepaskan, lepasss…kan….”

Di situ Buro lewat dalam keadaan mabuk. Mendengar dan melihat kejadian tersebut, ia dekati.)

Buro : “Bos ! Jangan diperkosa, Bos… dia kekasihku, biasa kencan denganku di sini…!”

Taro : ( Menggerundel dan mundur selangkah.)
“ Sialan…, Buro sinting beneran.”
Buro : ( Merayu si wanita.)
“ Oh, kekasih… pandanglah Abang… ah,jangan ngambek begitu. Yuk, kita hoi-hoi….
Ha..ha…haaa….”
( Berusaha memeluk.)
Taro : ( Cepat bergerak menepis.)
Buro : “…ah, Bos…sekali ini saja biarkan aku bercinta-ria !”
“ …kekasih, coba dengarkan gandrungan Abang…ahai….”
( Melantunkan syair rayuan. Suaranya sumbang.)
Ibunda : ( Berteriak keras dan patah-patah.)
“ Tidak…,tidak, tid…dak…. Tuhan, malapetaka apa ini…azab apaa…huuu-uu,
…huuu..uuuu…uuuu….”
( Kejang, rebah dan pingsan.)

Buro dan Taro saling memandang dengan pancaran sinis. Keduanya tampak bingung.)

Taro : “ Hai…, jangan sekali-kali melukai dia !”
Buro : “ Ha…ha…haa…haaa… ia pura-pura tidur, itu berarti …siap ! …sabar dulu, kasih !
Hihuk-hihuk…ha…ha….”
Taro : ( Dengan sekuat tenaga mengangkat si wanita masuk kendaraan. Gontai Buro mem-
buntuti dengan tangan kanan menjulur ke depan.)
“ Dasar gila !”
Buro : “ E-e-e… mau kabur ke mana kita … Mari manis turut Abang pulang, huak….”
( Mundur ke belakang.)


Babak Ketiga
Tinul duduk tercenung di atas balai-balai mengarah ke halaman. Melipat lengan bajunya.
Terperanjat melihat Taro dan Buro datang menjinjing tubuh seorang wanita. Berdiri dan kaget.

Buro : “…he, ini rumah ibuku…jangan nangsi di sini, …kuminta jangan, Bos !”
Taro : “ Nul…eh, Tin ?! Siapkan tempat segera !”
Tinul : (Terdedah ragu. Melihat-lihat gerangan wanita itu.)
“ Ibuku…Ibuku…!”
(Memeluk, mendekap menghimpitkan muka seraya menangis.)
“…kenapa dia, Kak ?!?”
Buro : “Mimpi, Nul…! Bukan ibu, bukan ibu…Ibu minggat, Ibu sudah minggaaaat…hah…!”
Taro : “ Perempuan ini calun pembantu kita, Tin…bukannya ibu !”
Tinul : (Teriak histeris.)
“ Ini Ibu, Ibu…ibuuuuuuuu…ufs, hu…ufs,hhuuu-huu-hu…. Jangan, jangan diperlaku-
kan demikian…, jaaangaaaan..hau..hu…ufs wanita ini Ibu kita, Ibu kita…Kak ! …
uuuhhhuuh…ufs….”

Taro dan Buro bertentang pandang. Mundur terguncang karena dada keduanya didorong-dorong
Tinul.

Taro : “…bukankah Ibu telah hilang ? Lenyap dari kenyataan karena kuwalahan dalam
mendidik, membeayai anak-anaknya… kemudian tega menghindar dari kesengsara-
an kami ini …?”
Buro : ( Beringas. Mata terbelalak.)
“ Inikah Ibu yang munafik…, seperti kemunafikan ayah yang enggan memelihara
kami lalu bunuh diri di depan Belanda…kemudian orang menyebutnya pahlawan !
Pahlawan…? Huh….”
Tinul : ( Diam-diam mendongkol dan membentak.)
“ Tutup mulut, kalian …! “
Ibunda : ( Terusik, siuman, dan sadarkan diri. Sambil memandang berkata pelan.)
“ … hoeh… dengar kata-kata adikmu ! Akulah ibu kandungmu Buro, Taro…hoehh…!”
Tinul : ( Kontan memeluki Ibunda sambil membimbing duduk, berbicara kelu.)
“ Ayah adalah pahlawan sejati walau orang tak banyak mengerti…konon, …dalam
Class kedua beliau mempertahankan Kalasan dan gugur… kalian tak mengerti
karena tak sudi mendampingi Ibu—kalian durhaka…selalu mengutuk orang tua !”
Buro : ( Duduk lunglai. Roman memerah dan terisak-isak.)
Taro : ( Tubuhnya seperti lunglai, merebah di samping kanan.)
Ibunda : ( Duduk menghadap ke depan bersandar badan Tinul. Berkata lambat.)
“ …sebelum tutup usia, ayahmu berpesan ‘ siapkan Taro dan Buro melanjutkan
perjuangan sebagai patriot sejati ‘ … namun, malang nasib ibu…huu…ufs…”
( Terselang dalam isak tangis. Tinul memijit-mijit bahunya.)
“…ufs…ufs…, kedua anakku manja—aleman—bandel, bertingkah laku …tak terpuji
…. memalukan…hu…huuuk…huuuuuk..ufs….”
Tinul : ( Duduknya agak berjingkat, masih memegangi pundak Ibunda. Sesekali mengusap-
air mata Ibunda dengan kain yang dikenakan.)
Ibunda : ( Kedua tangan menjulur hendak meraih Taro dan Buro.)
Buro : ( Tanpa bersuara, meniarap, memeluk pangkuan kaki kiri Ibunda. Mata berkaca-
kaca.)
Taro : (Menggeserkan badan rebah di pangkuan kaki kanan Ibunda. Melampiaskan perasa-
an sesal.)
“… maafkanlah puteramu…Bu,…Ibu…ampuni dosa-dosa..ku, Ibu…!”
Ibunda : ( Serta merta memeluk erat kedua puteranya.)


tamat

1 komentar:

  1. MGM Resorts International | Las Vegas, NV - JMT Hub
    Casino 제주도 출장샵 - The Mirage. Wynn 공주 출장샵 Tower. 강릉 출장안마 Encore Tower Suites. Casino 안동 출장샵 - The Strip. Wynn Hotel Tower. Wynn Tower. Encore 양주 출장마사지 Resort King Room.

    BalasHapus