Minggu, 06 Desember 2009

Nestri

Cerpen

Nestri

Oleh: Whelly Sukis Moro KM


Paru-paru hijau sepelataran gedung industri itu menjadi arsip-emas dalam kepustakaan langit lazuardi. Cempaka bermahkotakan embun dikitari kelekati. Seratus bidadari menari pancarkan cahaya fajar, pertemuan sejoli insan praktikan pengabdi ilmu dan pemukim peradaban sedang terjadi.

Pagi itu Nestri sudah menunggu. Bianglala melengkung syahdu di atas mereka, “Ini rangkuman data lengkap, saya pikir sangat diperlukan dik Nestri dan kawan dalam penyusunan laporan kelak !” Nestri girang menerimanya, “Terima kasih, Kak ! Pasti Etyma dan teman gembira sekali sudah mendapatkannya; sekali lagi terima kasih!” Ucap Nestri seraya mengerdipkan mata kepada Andramas. Memperhatikan setiap gerak gerik mereka, perasaan ibu senang dan bangga tergambar pada keningnya yang longgar.

Dua ekor kupu putih-biru melintas dari celah jendela berkeliling seluas ruang tamu, sejenak mereka berlalu. Andra pun mulai gelisah serenta menggeliatkan badan, “Ibu, dan dik Nestri…?!” Muka ibu dan Nestri bertukar serempak, selanjutnya ibu menukas “Nak Andra, jangan keburu pulang lho!”
Tiba-tiba Nestri berdiri mengarah ke pintu, “ Paman Paron, silakan masuk ! Itu, bu sudah dijemput kondangan !” Ibu bersicepat menyambut keluar. Andra berdiri. Lelaki tua dengan postur tubuh tegap mengenakan sidomukti lengan panjang elegan itu pelan-pelan memasuki rumah sambil, “Sudah siap, toh ?!” Mengambil duduk diiringi ibu dan Nestri, kemudian menyapa, “Lho, Nak ini siapa ?!”

Belum sampai Andra menjawab, ibu mendahului, “Kawan Nestri praktik, Kangmas !” Kumis putih itu pun dielus-elusnya serenta menyambut jabat tangan Andra yang menyebutkan nama diri. “ O, Andramas yang pernah diceritakan bung Dira, betul ?” “Benar seratus persen, Paman !” sahut Nestri cerdas. Paron Ismaya manggut-manggut sembari menjulurkan tangan terbuka isyarat Andra boleh duduk kembali. Dengan merapikan peci hitamnya Paron panjar memandang Andra, “asli dari mana, nak Andra ?!” “Saya Muntilan, Pak !” “Yang kondang tape ketan itu, to ?” Andra membungkukkan badan. “Dulu, saya ada kenalan. Bahkan bukan sekedar kawan tetapi taruhlah karib-kental begitu…mungkin kala itu nak Andra masih orok, kami berdua sukses berdagang kayu jati.”




Andra mendengarkan sungguh-sungguh tiba-tiba alur-bicara membelok, “Ibunya Nestri siap-siaplah dulu, ntar kesiangan !” Ibu beranjak ke dalam dan cerita berlanjut, “Tujuh belas tahun sudah, saya kehilangan berita tentang Adikusuma ….” Terkilas pancaran mata Paron menumpul. Jantung Andra berdegup bagai tersentak mendengar nama itu, “ Jika tidak salah nama yang Bapak sebutkan sudah meninggal pada pemilu reformasi silam, Pak !” Jelasnya perlahan. “ Jadi kamu mengenalnya, Nak ?” Kejar Paron penasaran.

Seketika Andra berwajah masam disertai sorot mata berkilau-kilau di depan Paron dan Nestri, “Beliau ayah saya !” “ Ya, Tuhan…kamu anaknya Adikusuma ?!” Andra mengangguk gagu. Paron bangkit dan menepuk-nepuk pundak Andra, “Sabar ya, Nak…Bapak doakan !” “Amin ! Terima kasih.” Nestri tertegun sedekap dengan pipi merah basah, perasaan terdalam mencuat mengalirkan derai pelita. “Sekarang sudah siap Diajeng, yuk ! Nak Andra tenangkan dulu ditemani keponakan saya, Nestri…di rumah, ya !? Kami kondangan dahulu, lusa dampingi saya ngobrol ya, Nak ?!” Andra tersenyum dan mengayunkan badan ke depan menghantar mereka masuk Xenia, sekalian mohon pamit. Kontan saja Nestri yang berdiri di samping tampak kecewa terhadap keputusan Andra. Betapapun jabat mesra yang diberikan Andra belum berhasil meluluhkan rasa kesalnya.

Nestri melemparkan badan, berbaring sendiri. Kelebat bayang Andramas kunjung menggoda di langit-langit kamar. Prosesi perkenalan semulakali pun kembali terpampang. Alangkah indah melati-kenangan menggetarkan sukma. Sesekali ia tersenyum sendiri tetapi terlintas jua paras muram pada peristiwa Jumat lalu. Tatkala Nestri bersama Etyma, Dasy dan Onakan melangkah bertolak dari kantin mendadak melihat Andramas dan Sukamtosuko terlibat pertengkaran dengan empat pemuda yang menyuruk keduanya di komplek masjid. Terjadilah adu fisik sampai Sukamtosuko menderita terkena pukulan. Dengan nyali refleks Nestri berlari meninggalkan kawan-kawannya. Ia menjerit sambil meloncat menarik lengan Andra hingga terhuyung ke samping. Dan selamatlah Andra dari sasaran bogem mentah yang diayunkan oleh dua orang dari arah belakang. Tragedi singkat menjelang waktu ibadat itu mendapat perhatian ramai.

Selain dikerumuni hampir seluruh karyawan, orang luar pun berduyun memasuki gerbang yang dibuka menjelang Jumat itu sekedar ingin tahu. Petugas satpam dengan sigap mengusut dan mengamankan. Dukungan simpati tertuju kepada Sukamto dan Andra. Nastri pun keheranan, persoalan apa yang melatarbelakangi gara-gara tadi. Ia menatap iba pada Andra. “Terima kasih, ya! Adik telah menghindarkan saya dari bahaya ! Ucap Andra. “Kembali, aku senang Kakak tidak terluka!” Balas Nestri lembut. Dalam ingatan Nestri, dirinya mengenal keempat pemuda barusan ialah anggota “Moto-Sport” pimpinan Daniarta, tak lain seorang staf kepegawaian di perusahaan ini.



Renungannya semakin jauh mengaburkan jawaban membuat Nestri gelisah. Ia menggolekkan tubuh ke samping menangkap cahaya jendela seakan-akan menunggu sang penjelas tiba, mengapa kala itu Daniarta tidak muncul sedangkan semua orang tumpah ruah menghampiri sampai pak Dirut turun langsung menyelidik. Seleret unak yang seringkali timbul-tenggelam di mata Nestri.

Debut aktifitas karyawan yang padat diwarnai kesibukan di sana sini. Setiap Sabtu Meeting mondeling di masing-masing kelompok bergulir secara berangsur. Interview kekeluargaan ini dipandu oleh Supervisor didampingi Andra dan Sukamtosuko. Mekanisme serupa ditrapkan dalam bentuk evaluasi kerja antarbagian dilakukan pada jam berikutnya. Kendati sudah dibiasakan sejak dua setengah bulan yang lalu sampai akhir November ini, belum seluruh karyawan memahami “Rencana Besar” yang sedang dirintis oleh direksi atas usulan ‘Uji-hipotesis’ Andramas dan Sukamtosuko. Kontraprestasi berupa kenaikan insentif atas melonjaknya produktifitas sebulan terakhir ini cukup mendongkrak faktor kedisiplinan dan semangat kerjasama. Pada simpul sedemikianlah Andramas menciptakan harmoni antarlini yang memungkinkan lahirnya simponi-merdu pada tataran pelaksana untuk dipadukan menjadi irama sejahtera.

Tampak dari balik kaca ruang loby Daniarta menunggu Andramas sehingga ia cabut diri menemuinya di luar. Kritik Daniarta, “Apa tidak menghamburkan waktu produktif ?” Disangkal,” Kita curahkan segelas air bakal mendapat sesumur !” Sejenak ia terperangah kemudian, “You dapat pesan dari Nestri !?” Andra berlagak menepis, “Nestri ? Ah, jangan bercanda !” Daniarta merangkul pundaknya dan, “Dia itu masih familiku, percayalah ! You diminta membantu menyusun laporan besuk !” Kilah Andra, “Pengertian saya akhir November nanti mereka rampung PKN !” Daniarta menyahut, “Beberapa hari ini mereka berkonsentrasi di ruang akuntan mengejar target menyelesaikan jurnal bulanan sampai jam tiga sore !” Andra, “???”

Batinnya menolak anak praktikan dibebani target reguler seperti karyawan resmi. Ia tertegun sedih, Daniarta menyantun “Nestri titip salam kangen buat You ! Gimana…?!” Tersipu dan terbawa suara hati yang dahaga beberapa hari ngelangut tanpa papas manja. “Bener, lho ! Jangan kecewakan dia. You harus datang,sore ! “ Andra tersenyum berat merasa didikte. “You rindu, kan ? Baik, ‘ntar kusampaikan !” Daniarta berlalu. Andra mengusap kening memasuki perhelatan rutin kembali. Saat pulang tiba, Andra urung konfirmasi berhubung Nestri lebih dulu meninggalkan tempat. Satpam mengutarakan, mereka diangkut semobil dengan Daniarta.

Gagal kembali ke Magelang, Minggu pagi ini Andra turut kerjabakti di lingkungan pondokan. Mbak Nuning dan dik Nina selaku pemilik rumah senantiasa menyindir sambil bergurau , mereka pun



mengetahui sebongkah reputasi Andra yang kerapkali mendapat salam dan warkat kiriman dari kaum perempuan teristimewa Nestri, pelajar modeling yang ternama menguasai tari jawa. “Wah, kak Andra hebat, ya ?!” lontar Nina memuja, disahut Naning “Mbak juga makin sreg bilamana dik Andra benar-benar jadi wong Solo !” Yang digoda hanya tersenyum dan berucap, “Mbak ini ada-ada saja !”
Nuning menghentikan ayunan sapu lidinya lalu bergeser mendekat Andra, “Mbok sekali-kali diajak kemari mumpung hari libur, lagian mbak pingin kenal langsung juga lho, tidak hanya lewat media !” Pinta Nuning.

Nina yang sedang menyiangi teh-tehan pun langsung nimbrung diikuti teman-temannya. Mendengarkan Andra bicara merendah, “Gimana ya, Mbak… saya malu, dikirain pamer !”
“ Nggak apa-apa ! Orang mbak juga alumnus SMK sana, kok !” Desak Nuning yang dicegat Nina, “Diskusi apa to, tante serius banget ?!” Keduanya tersenyum, “ Ini, dik Andra tante minta mengenalkan si bintang Nestri !” Nina berjingkrak tanda setuju. “ Ah…nggak jadi, Mbak !” “Lho, kenapa ?” Penasaran. “ Daripada menimbulkan ‘pertengkaran’ dengan dik Nina !” Gadis langsat tezi itu pun berang mengejar Andra dengan mengangkat skop-sampah seperti main umpatan pada guyonan bocah. Andra berkelit memutar-mutar badan sembari berkata, “ Sudah-sudah…ayo kita minum dulu !”

Tengari berlalu mamai rindu, sore ini Andra berangkat. Ibu Nestri pun mengabulkan izin Andra membawa Nestri keluar untuk menyusun laporan di kediaman Etyma sekalian dapat nyampir pondokan mengambil draf. Sepeda motor yang dibawa berboncengan tiba-tiba diserempet sesama motor dari belakang. Nestri yang mengenakan celana panjang putih, berjaket putih dengan rambut hitam lurus lebat merambat punggung itu berpegang erat-erat di saat Andra berjuang mengendalikan oleng kendaraan. Dan brak ! Pengepot berbocengan itu tersungkur sendiri tertabrak motor Andra.
Dengan cekat Andra menghentikan motor dan turun berdiri seraya memegangi tubuh Nestri. Dua lelaki tadi bangun terengah, salah satu memekis dan gelap mata kepada Andra. Sekilat itu dua lelaki sebaya lain datang spontan menghajar Andra, mereka merangket seperti kesetanan. Anehnya, di tempat yang terbilang tidak sepi ini orang terlambat menolong meskipun Nestri memekik ampun ! Dalam tempo singkat sebuah panter mendadak berhenti, penumpangnya sempat turut menonjok Andra yang sudah tidak berdaya, seorang berbadan besar menyeret Nestri secepat kilat dengan membungkam kemudian memasukkan ke dalam mobil biru itu, seketika itu mereka pergi tancap gas.

Orang pun ribut berdatangan memberi pertolongan; motor butut Andra diamankan sebagai barang bukti sedangkan Andra yang tergeletak pingsan diangkat ke rumah terdekat yakni Soto Lestari. Ibu pemilik warung sempat histeris begitu mengetahui korban adalah Andra, mahasiswa PKN langganannya. Serejang itu para relawan menghubungi perusahaan dan pengurus pondokan Andra.


Suasana senja mencekam. Ibu Nestri mendengar tragedi ini dari Daniarta menyusul ancaman datang lewat telepon minta tebusan satu milyar. Begitu cemas ia menanti kabar putri satu-satunya sehingga menghubungi Paron Ismaya. Sementara Saidindira selaku direksi perusahaan pun dikontak oleh Paron—kiranya sudah melangkah lebih lanjut membina koordinasi yang patut sampai berhasil mendapati Andra di TKP. Disaksikan masyarakat, figur terhurmat ini bertindak cekatan, sudi menghampiri sesama walaupun hanya anak praktik. Saidindira dengan asuh menasihati Andra selepas siuman di warung itu supaya bersedia dilindungi sementara di Polresta. Dengan berpikir positif, kondisi tubuh memar babak belur Andramas merelakan diri dibawa ke kantor polisi.

Di tempat yang disepakati. Perbincangan Paron Ismaya dan Saidindira berlangsung.“Aku benar-benar tak mudeng dengan alur drama ini, Bung ! Skenarionya siapa ?” Tutur Saidindira kepada Paron Ismaya yang duduk berhadapan di ruang keluarga. Sementara sopir pribadi berada di balkon menikmati udara petang. “Menurut ibunya Nestri, ia hanya melihat anak itu saja (Andramas, pen) tetapi ia sendiri malah mumur luka-luka; sandiwara macam apa ini ?!” Sahut Paron sambil menyuguhkan teh-celup panas, “Wah, kareman lama ini ya ?! “ Menyeruput, “Hanya sedikit kemanisan tapi gak apa-apa-kolo-kolo !” kata Saidindira ringan.

“Dari saat Nestri pergi dengan waktu kejadian kurang dari setengah jam, explosive-accident !” Lanjutnya, “Logikanya Andra lurus, tidak belok-belok menuju pondokannya; Cuma ada yang ganjil, membantu menyusun laporan saja mesti keluar?” “Ah, itu kan alasan anak muda…lazim saja !” Dalih Paron meremeh dan, “Namun paling tidak menjadi pertanyaan awal bagi polisi !” Sejenak Saidin bilang, “Jika dilihat dari bahasa jiwanya anak itu pematuh,kok ! Akan tetapi bagaimanapun ini menyangkut aspek kriminal dan nilai satu EM bukan sembarangan, aktiva di ‘Batik’-ku pun belum cukup maka kesampingkan dulu azas-personal, biar jalur hukum berjalan !” Paron mengusul, “Antisipasi terburuk adalah ketersediaan in-natura !” Sambar Saidindira, “Why not if the least ?”

Angka sembilan di Seiko menyadarkan keduanya bergerak maraton menuju kediaman ibu Nestri. “Ini kesempatan menunjukkan bakti tiga serangkai kepada ahli waris bung Ranuhardjito !” Himbau Paron di perjalanan. “Benar, bung saya sungguh prihatin dengan petaka ini, kasihan ibu Nestri.” Beberapa menit kemudian sudah berada di ruang tamu. Bu Nestri menyambut dengan senyum-lancung seperti hendak menyembunyikan kedukaan yang dikandung tetapi merah pada kedua bola matanya tak dapat didustai. Ia segera menceritakan kisah ini mulai dari awal namun dihadang dengan ucapan Paron, “Begini, diajeng ! Bung Saidin telah menyerahkan Andramas ke petugas. Dirinya luka babak belur tetapi sudah sadar !” Sentak ibu Nestri emosi, “ Jadi pelakunya, nak Andra ?...Gusti !?” “Sabar, sabar mbakyu !” Bela Saidin, didesak ibu Nestri, “Nestri…Nestrinya kemana, Kangmas ?”


Tubuh menegap, sedekap tangannya luluh, “Duh, Gusti tolong hambaMu ini…!” “Memang belum diterima kepastian berita namun setidak-tidaknya polisi tengah menjalankan pelacakan apa benar dia yang mendalangi lakon segila ini ! Pagi-pagi besuk aku selidik jati diri anak itu lewat kampusnya !”
“Ada catatan kecil lagi, Jumat lalu Andramas dan teman risetnya Sukamtosuko terlibat perkelahian di depan masjid pabrik, urusan itu sudah diselesaikan satpam, demikian Daniarta melaporkan !” Paron pun celetuk, “Itu petunjuk, lho Bung !” “Sekarang nomor telepon ini sudah diblokir polisi, Diajeng harus tenang dan yakin Nestri segera kembali, soal tuntutan penyandera kami yang hadapi !”

Seluruh karyawan sudah lebih dulu berkerumun di halaman perusahaan. Mereka sengaja menghentikan aktifitas produksi demi mendukung perjuangan Andramas dalam rangka menciptakan produktiifitas dan kesejahteraan kaum pekerja. Tampak begitu besar penghormatan mereka terhadap pengorbanan tulus aktifis ini. Sesaat kemudian berbaurlah karyawan dan rombongan mahasiswa kawan Andra mengangkat beberapa poster di antaranya bertuliskan ‘Pecat Daniarta’, ‘Dnt pengkhianat !, dan dibarengi orasi serta sorak sorai yang menggetarkan suasana. Sementara di ruang sidang lantai dua direksi melakukan rapat luar biasa menghadirkan peserta dari luar di antaranya Paron Ismaya, konsultan publik berinisial Polin, dan wakil mahasiswa.

Membahas tuntas ‘Insiden Jumat dan Implikasinya’. Berkait dengan dead-lina tuntutan penculik pukul sebelas nol nol, rapat dimulai jam sembilan. Secara mengejutkan Andramas—dengan tubuh penuh balutan dipandu seorang petugas muncul dan melintas di tengah-tengah kerumunan massa. Mereka terus mengelu-elukan dan berteriak histeris menyambut Andra yang membalas aplaus melambai-lambaikan tangan. Dengan didahului satpam keduanya masuk ruang sidang. Kehadiran Andra disambut dingin peserta rapat kendatipun pemimpin rapat telah mempersilakan mengambil tempat. AC di gedung itu pun seketika berhenti disusul padamnya lampu penerang. Namun cahaya luar cukup memadai bersatu dengan emergensi. Saat sidang kembali melanjutkan laporan Kepala Satpam, seorang peserta interupsi.

Saidindira angkat bicara, “Andramas ?!” Geram. Kontan yang disebut mengangguk dan berdiri. “Saya tidak meminta Saudara berdiri !” Andra kemudian duduk tegak. Pimpinan rapat itu melanjutkan, “Saudara saya hargai sebagai praktikan yang berhasil selama sejarah riset di sini, tetapi paradoks tindakan Saudara sangat jauh merugikan kami…, onar, huru-hara semacam begini (melongok ke arah jendela konsentrasi massa di luar sana) dan sadisnya lagi mengancam korban besar baik harta sampai nyawa anggota keluarga saya !” Perus. Andramas diam, urat mukanya kelihatan kencang. Seluruh peserta memusatkan perhatian kepadanya kecuali pak Polin, person ini tampak serius mengamati gerak-gerik dan caya wajah Daniarta yang terkadang patah pandangan jatuh tumpul di sudut meja.


Andramas urung mengacungkan jari disusul tuduhan keras terhadap dirinya, “Saudara telah bersekongkol menculik Nestri keponakanku, hendak mengelak …?” Bentak Saidin. Andra terpojok. Sekonyong-konyong HP pak Polin berdering, sontak dia menyingkir ke luar. Andra melakukan interupsi dengan lantang. “Pimpinan sidang terhurmat ! Izinkanlah saya kembali berdiri ! Pimpinan memberikan isyarat persetujuan. “Saya buka mulut bukan untuk membela diri; saya wajib meyakinkan bahwa kejujuran saya mendapat ridha Tuhan sebagai kebenaran. Dan saya mengakui sebagai penyebab ‘hilangnya’ adik Nestri…saya lalai, saya khilaf…, sekarang juga akan mencari !” Sebutir air mata meluncur di pipi.

Sembari melirik arloji Paron Ismaya minta bicara, “Berarti Saudara mengakui bahwa Saudara berkomplot melakonkan drama penyanderaan dengan tebusan, begitu kan ?” Sangat keras dan garang, sampai tak menyadari gerakan tangannya menjatuhkan atribut meja, glug-prang ! Andra menggeleng serenta berteriak, “Tidakkk !” Pusat perhatian masih menuju Andra. Pada detik-detik sela itu Kepala Satpam menanyakan tentang perlu-tidaknya laporannya dilanjutkan. Terlihat Paron Ismaya mendekati Saidindira lalu berbisik, “Kalau seperempat jam sebelum deadline tidak ada ancaman lagi, jelas ia (Andramas) dalang di balik semua ini. Jika sebaliknya… kamu siapkan saja yang satu EM semalam !” Kelihatan keduanya akur mengangguk-angguk. Berbarengan itu Daniarta ambil suara seolah-olah memberikan jawaban kepada Kepala Satpam, “Saya pikir hal itu tak perlu…tokh persoalan sudah makin jelas, iya kan ?!” Tatapannya dipaksakan mengeliling seperti menggalang suara menjawab setuju .

Di kesempatan yang sangat kritis tiba-tiba pak Poin masuk disertai seorang polisi . Dengan langkah tegap memegang senjata genggam, tangan sebelah menunjukkan police-card menyampaikan aklamasi, “Pimpinan sidang, terhurmat ! Atas nama tugas, saya diperintahkan menangkap Saudara Daniarta secepatnya !” Seisi ruang sidang tersentak spontan berdiri. Semua menyaksikan Petugas penegak hukum memborgol Daniarta. Polisi juga mengisahkan, “ Pada sepuluh tiga puluh atau setengah jam menjelang batas waktu ada seorang anak berseragam SD melapor bahwa saudari Nestri berada di kamar bersama kakaknya bernama Etyma dalam keadaan terkunci.

Atas laporan tersebut polisi meluncur ke TKP. Tanpa mengalami gangguan yang berarti berhasil membebaskan korban. Berdasarkan pengakuan korban yang mengenal beberapa pelaku, polisi bergerak cepat mampu menangkap tiga orang pelaku, yang lain masih dalam pengejaran !” Pak
Polin ganti melanjutkan, “Dari pengakuan dua orang pelaku terdahulu diperoleh keterangan bahwa
yang bersangkutan ( menunjuk Daniarta) merupakan otak persekongkolan ini. Kondisi kedua kurban dalam keadaan sehat; Saudari Etyma tetap di rumahnya sedangkan Saudari Nestri diserahkan ke pangkuan ibunya. Agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, polisi masih melakukan



tindakan penjagaan. Dengan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Direksi beserta staf karyawan dan berbagai pihak yang telah memberikan bantuan untuk operasi ini. Dan kami membawa pesan khusus dari keluarga kurban, saudara Andramas diminta selekas mungkin menghadap adinda Nestri dan Ibu di rumah. Sekian, selamat siang.!”

Daniarta bibirnya meletupkan kata-kata pada Paron Ismaya, “Paman, tolong saya…ya ?!” Merengek bagai anak kecil. Pamannya menatap pasi kemudian menabik kesal, “Masih belum sempurnakah kenakalanmu sejak kecil, Le…?!” Dan ia pun membiarkan anak angkatnya digelandang keluar. Karyawan yang tumpah ruah di halaman hiruk pikuk menyambut dengan caci maki, umpat, dan dampratan kepada oknum Bagian Administrasi ini. Sebaliknya, kemunculan kembali Andramas di belakangnya diiringi sorak sorai dan tepuk tangan gemuruh disusul teriakan-teriakan empati silih berganti. Himbauan dari megaphone terus menggema Andra, andra, andra ! dan pahlawan tetaplah bersama kami, kami mendukungmu ! Dari lautan orang yang mengerubuti Andra, muncullah pendukung sejatinya Sukamtosuko. Memeluk Andra sembari menyapa, “Bagaimana Nestri …?” “Dampingi saya ke sana, Yuk !” Rombongan besar massa hadir menaruh hati dirumah Nestri. (WSM.05.08)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar