Kamis, 10 Desember 2009

NAGARI LAWANG TRUS BHUMI

NAGARI LAWANG TRUS BHUMI
(kandasnya pemerintahan Orde Baru 1998)

Perahu politik Indonesia pasca kejatuhan Bung Karno tidak bisa lepas dari kendali tangan kepemimpinan Orde Baru. Konsensus Nasional 1966 – 1969 dicapai dengan konsesi melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Orde Baru telah menyelenggarakan pemilihan umum pertama 1971. kenyataan dan pengalaman dari pemilu pertama ini dijadikan pelajaran politik yang masih mengandung risiko, terutama yang bertalian dengan cita-cita stabilitas politik (statusquo). Sehingga perampingan jumlah partai peserta pemilu pun dilakukan—yang sedikit banyak mengekang pluralitas aspirasi masyarakat. Dari noktah inilah genderang watak penguasa ditabuh menandakan dimulainya era “Politik Otoriter”—pada versi Orde Lama dikenal dengan Demokrasi Terpimpin—menyusul pelaksanaan pemilu 1977,1982, 1987,1992, dan terakhir 1997.
Soeharto selaku administrator, manajer publik sekaligus Pemimpin Nasional niscaya mendapat legitimasi dari wakil-wakil rakyat yang natabene YesMan, seolah-olah rekayasa arranger dalam setiap konser di Gedung Legislatif yang megah itu, sehingga semakin leluasa menciptakan berbagai polecy di berbagai segi bagi


kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjalankan trade-mark kekuasaannya yakni Pancasila dan Pembangunan.
Segenap potensi fisik serta manifestasi hati nurani bangsa Indonesia dieksploatasi secara besar-besaran atas dasar satu komando atau kekuasaan tunggal,bagai raja yang setiap titahnya tak pernah mengandung salah. Setiap kritik, koreksi, sindiran maupun teguran dianggap sebuah ancaman besar bagi konsep stabilitas yang didambakan. Kekuasaan menjadi Panglima, siapa pun harus mematuhi, menyerah dan bertekuk lutut bilamana tidak menginginkan menyesal rugi, dinista, disiksa, bahkan mati konyol kalau tidak dipenjara.
Sejarah pun mencatat bahwa Demokrasi Pancasila terbukti telah diselewengkan dengan penafsiran sepihak sampai-sampai atraksi kesombongan pejabat tak ada lagi yang mampu menahannya. Berdengunglah slogan Single Majority yang menggambarkan hegemoni keangkuhan dan nafsu keserakahan sesama.
Kedaulatan rakyat tidak ubahnya lips-service di tengah-tengah rancunya kehidupan sosial yang diwarnai dengan arogansi serta perbenturan antar-klas dalam masyarakat. Kebijakan pembangunan ekonomi lambat laun makin jauh dari sasaran karena merajalelanya caracter-dissorder dan yang perlu diakui formulasinya menganut kapitalisme modern yang menitikberatkan pada pertumbuhan fisik kelas menengah keatas. Konsep ekonomi kerakyatan hanya ditempatkan di ruang belakang yang remang-remang dan cukup menjadi saksi korban ramainya perdagangan modal para penyandang privillese, katabelece lazimnya perilaku elit berkutat dalam tindakan kolusif.
Masyarakat kecil pada umumnya sebagai pemilik sah dan pemegang Ampera, bertubi-tubi menjadi obyek penderita dari investasi pembangunan. Kian hari kian merasakan desakannya. Kesenjangan di sana-sini makin menganga disertai berjangkitnya degradasi moral dan terkikisnya budaya luhur bangsa. Krisis pun merayap cepat menggerogoti penjuru penghidupan rakyat. Tiada tersirat lagi sinar harapan esok hari ibarat perahu tanpa haluan nan pasti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar